Pernahkah Anda berpikir bagaimana rasanya jika Anda selalu berada dalam posisi yang salah? Tentu tidak menyenangkan, bukan? Mungkin demikian juga yang dirasakan wanita Muslim , tatkala mereka membaca ajaran hadist tentang wanita terbaik.
Mengetahui apa saja hadist nabi Islam kepada wanita, akan menolong Anda lebih mengerti bagaimana agama memperlakukan wanita.
Hadist Tentang Wanita Memakai Wewangian
Agama terlalu sering mempersalahkan kaum wanita tatkala pria tertarik pada seks. Misalnya nabi Islam berkata, “Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zinah . . .” (HR. An-Nasaii ibnu Khuzaimah & ibnu Hibban).
Mengapa menyalahkah wanita ketika hasrat birahi pria timbul saat mencium wewangian yang dipakai wanita? Mengapa tidak menyalahkan pria yang dalam hatinya menyimpan pikiran porno?
Perhatikanlah perkataan Isa berikut ini: “. . . dari dalam hati [pria dan wanita], timbul pikiran-pikiran jahat yang menyebabkan orang berbuat cabul . . . berzinah . . .” (Injil, Rasul Markus 7:21-22)
Hadist: Wanita Muslim Harus Siap Sedia Melayani Suami
Kebanyakan Hadits tentang wanita terbaik menekankan isteri harus selalu, bagaimana pun keadaannya, dengan cepat melayani nafsu seksual suami. Satu Hadits mengatakan, kalau suami ingin memuaskan nafsunya, isterinya, walau di atas unta, harus segera turun dan melayaninya. Hadist lain berkata, jika isteri di atas cerobong perlu turun secepatnya, bila suami minta dilayani. Lagi ada yang berkata, jika ia sibuk memanggang roti, harus stop dan melayani suami (HR Tirmidzi).
Ketiga hadist tentang wanita terbaik tersebut memberi kesan bahwa isteri semata-mata obyek seks. Dimana tugas utamanya adalah melayani nafsu birahi suami.
Wanita Muslim Kaum yang Najis
Dalam Hadith Muhammad berkata, “Ada tiga hal yang merusak sholat: wanita, anjing dan keledai.” (Muslim, Salat 265; Abu Dawud, Salat 109; al-Tirmidsi, Salat 136, Said 16; al-Nasa’i, Qibla 7; Ibn Maja, Iqama 38; Ahmad Ibn Hanbal, 5:139,151,156,158,160; 6:157,280). Juga hadist lain menuliskan, “Wanita adalah binatang yang keji, hina” (Muslim, Salat 269).
Ayat serupa terdapat dalam Qs 5:6,“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat . . . dan jika kamu . . . menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).”
Taat Pada Suami, Muslimah Masuk Surga
“Jika seorang isteri . . . taat kepada suaminya, maka dipersilakanlah masuk ke surga . . .” (Hadist Riwayat Ahmad dan Thabrani). Sabda Nabi Islam: “Seorang perempuan yang . . . mematuhi suaminya akan memasuki surga . . .” (HR. Bukhari dan Muslim). “Di antara keutamaan istri yang taat pada suami adalah akan dijamin masuk surga.”
Sementara firman Allah berkata bahwa keselamatan adalah akibat dari anugerah-Nya. “Jadi, oleh anugerahlah kamu telah diselamatkan melalui iman: Itu bukan berasal dari dirimu sendiri, melainkan pemberian Allah, itu bukan karena amalmu . . .” (Injil, Surat Efesus 2:8-9).
Allah Mengasihi Pria dan Wanita
Sejak semula Allah menciptakan wanita sepadan dengan pria. Dia berkata, “ . . . tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Injil, Surat Galatia 3:28).
Juga ayat lain menjelaskan, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan” (Injil, Surat 1 Korintus 11:11).
Demikianlah wanita sama berharganya di mata Allah. Jika Anda ingin mengetahui bagaimana Allah sungguh mengasihi Anda, Isa Al-Masih dapat memberitahukanya. Isa berkata, “Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu” (Injil, Rasul Besar Yohanes 16:24).
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Mengapa beberapa ajaran hadist tentang wanita terbaik justru seperti mendiskriminasikan kaum wanita? Jelaskan!
- Menurut Saudara, wanita terbaik punya ciri-ciri seperti apa?
- Mengapa Muhammad menetapkan syarat masuk sorga adalah tunduk pada suami dan bukan pada Allah?
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Artikel Terkait
Berikut ini link-link yang berhubungan dengan artikel di atas “Bagaimana Ajaran Hadist dan Injil Tentang Wanita Terbaik?”. Jika Anda berminat, silakan klik pada link-link berikut:
- Apakah Al-Quran Menghargai Wanita?
- Adakah Islam Memandang Pria Dan Wanita Seimbang?
- Alasan Muslimah Arab Saudi Menuntut Kesetaraan Gender
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini.
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini atau SMS ke: 0812-8100-0718.
~
Sdr. NL,
Nampaknya ayat-ayat yang saudara tulis itu tidak lengkap. Membuat saya menafsirkan bahwa saudara NL hanya mengambil sebagian kecil ayat dan mengartikanya dengan pikiran sendiri.
~
Sdr. NL,
Kami sangat berterimakasih atas setiap pemaparan yang sdr berikan lewat komentar-komentar saudara. Tapi kami yakin dan percaya bahwa sdr pun sudah mengetahui aturan dalam memberi komentar yang sudah ditetapkan. Sebagai orang yang sudah lama mengikuti situs Isa dan Islam, tentu sdr sudah mengetahuinya, bukan?
Sangat kami sayangkan, dari sekian panjangnya komentar sdr, tidak satu pun menanggapi artikel di atas. Jika sdr tidak keberatan, kiranya dalam memberi tanggapan/komentar, sdr hanya menanggapi setidaknya salah satu dari tiga pertanyaan berikut ini:
1. Mengapa ajaran dalam hadist tentang wanita umumnya mendiskriminasikan wanita?
2. Menurut sdr, mengapa Muhammad terkesan selalu menyalahkah wanita saat pria jatuh dalam dosa
3. Mengapa Muhammad menetapkan syarat masuk sorga adalah tunduk pada suami dan bukan pada Allah?
Dengan hanya berfokus pada topik diskusi yang ada, akan mempermudah kita mengerti dan memahami apa sebenarnya yang sedang dibicarakan. Dengan demikian, pemahaman kita pun akan bertambah. Terimakasih!
~
Saodah
~
Salam to Mbak Saodah & Tim IDI,
Mengawali perbincangan ini, saya tertarik tentang hierarki suami-istri dalam rumahtangga, dan hubungan sex antara pria dan wanita ataupun sebaliknya (sub-judul ke-2 dan ke-4).
Untuk mengomentari (menurut pendapat pribadi) terhadap pertanyaan ke-3. Namun saya masih memerlukan tambahan informasi dari pemakalah. Mohon bersedia membantu beberapa hal sbb:
1. Menurut Alkitab, siapakah yang menjadi kepala rumah-tangga?
2. Masih menurut Injil, apakah hak dan kewajiban suami terhadap isterinya, demikian pula sebaliknya. Selain penjelasan, tolong dikutipkan ayatnya.
Terimakasih. Salam
~
Sdr. Merry Mariyah, terimakasih untuk komentar yang sdr tuliskan.
Kitab Suci Injil menekankan bahwa kasih Isa Al-Masih adalah dasar hidup suami-isteri. Dalam Injil, digambarkan bahwa suami-isteri sama seperti bagian tubuh manusia. Dimana semua bagian ini, walau mempunyai peranan masing-masing, tetapi juga satu-kesatuan. Artinya, salah satu diantaranya tidak akan berfungsi bila tidak ditopang oleh bagian yang lain.
Lebih jelasnya, Sdr. Merry dapat membaca dalam Kitab Suci Injil, Surat Efesus 5:22-33.
~
Saodah
~
Salam untuk mbak Saodah dan Tim.
Terimakasih atas jawabannya. Sekarang baru aku tahu, bahwa istri Kristiani harus patuh total dalam segala hal kepada suaminya, sebagaimana disebutkan pada “Efesus 5:22-24:
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan. karena suami kepala isteri, sama seperti Kristus kepala jemaat. Karena itu, sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.”
Menurut ayat di atas, isteri harus siap melakukan perintah apapun tanpa kecuali dari suami, setiap waktu dan kondisi. Perkataan suami laksana firman yang kehendaknya harus terjadi. Lebih tinggi dari titah raja dan sabda pandita.
Untuk itu, dibutuhkan kesiapan fisik-mental sebelum masuk kondisi ini. Terimakasih.
~
Sdri. Merry Mariyah,
Benar yang sdr sebutkan di atas. Isteri harus tunduk pada suami. Tapi, Sdri. Merry juga tidak boleh melewatkan ayat selanjutnya.
Dikatakan, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Injil, Surat Efesus 5:25).
Sebagaimana Isa Al-Masih telah mati disalib untuk membela manusia berdosa di hadapan Allah, demikian juga Injil mengajarkan, para suami rela mengorbankan nyawanya demi isterinya.
Bandingkan dengan apa yang Al-Quran katakan, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita . . . . pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka . . .” (Qs 4:34).
Sdri. Merry sebagai seorang wanita, type suami manakah yang sdr inginkan: 1) Suami yang mau berkorban demi sdri, atau 2) Suami yang tega memukul sdri?
~
Saodah
~
Mbak Oda dan Tim Yth.,
Sebagaimana dihukumkan pada Efesus 5:22-24 bahwa istri harus patuh pada suami dalam segala hal seperti patuh kepada Tuhan, dalam keseharian rumahtangga sering terjadi “error” kecil sampai besar yang menyebabkan istri tidak patuh pada suami (terang-terangan atau sembunyi-sembunyi selingkuh hati sampai seks). Karena melanggar, tentulah ada hukumannya. Pertanyaan:
1. Pada ayat berapakah sanksi itu bisa kita temukan?
2. Kepatuhan seorang istri mustinya perlu diapresiasi, karena melaksanakan perintah Tuhan. Pada ayat berapakah imbalan itu bisa kita temukan?
Terima kasih.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Kami memahami kerangka pikir pertanyaan-pertanyaan Anda. Anda memaknai [u]kehendak Allah[/u] semata sebagai sederetan hukum yang memuat perintah dan larangan yang otomatis disertai ganjaran dan hukuman. Seakan kehendak Allah tsb bekerja mekanis seperti robot. Anda mengesampingkan “Jati Diri” Allah yang berkehendak.
“Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (Injil, Surat 1 Yohanes 4:8). Firman Allah ini menyatakan salah satu jati diri-Nya yaitu [u]kasih[/u]. Karena kasih-Nya, Allah menghendaki kesejahteraan umat-Nya termasuk dalam hal berumahtangga. Agar umat-Nya lebih mudah menerapkan, secara nyata kasih pengorbanan Yesus kepada jemaat-Nya menjadi teladan bagi suami dan istri menerapkan kasih dalam hidup rumahtangganya.
Jika pengertiaan ini sungguh dimengerti dan diterapkan, maka tidak diperlukan lagi pertanyaan ganjaran dan hukuman, sebab tujuan “Perintah Kasih” tsb jelas untuk menyejahterakan masing-masing anggota keluarga. Dengan sendirinya, bila tidak diterapkan, tentu kehidupan rumahtangga tidak sejahtera, bukan?
Ingat saudaraku, jangan pernah menerapkan kehendak Allah karena ketakutan kita terhadap murka-Nya, tapi pahamilah maksud dan tujuan kasih-Nya dalam setiap perintah yang Ia firmankan.
~
Yuli
~
Yth mbak Oda & tim IDI,
Kita tengok hal yang berkait dengan suami. Hal itu tertuang pada Efesus 5:25 seperti di atas dan Efesus 5:28 “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri…”.
Dalam kondisi normal, ada secercah harapan istri pada suami, meskipun sangat relatif bagi setiap orang dalam tingkat mencintai tubuhnya sendiri. Kepatuhan mutlak dari istri hanya disandingkan ekuivalen dengan kecintaan suami pada tubuhnya sendiri. Setarakah? Artinya, keharmonisan rumahtangga bukan karena umat Kristiani memahami injil, tapi karena pengaruh budaya dan pendidikan.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Mari berpikir sejenak. Dari manakah sumber nilai budaya dan pendidikan yang luhur berasal? Jawabnya: dari Allah sendiri. “Sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (Injil, Surat Kolose 2:3). Maka, tidak benar jika Anda menyimpulkan “… keharmonisan rumahtangga bukan karena umat Kristiani memahami Injil, tapi karena pengaruh budaya dan pendidikan”. Injil yang adalah firman Allah mengajarkan “kasih” sebagai landasan hidup berumahtangga. “Kasih” inilah bagian dari hikmat Allah, sumber dari nilai pendidikan dan budaya yang luhur berasal.
Dengan memperhatikan Efesus 5:25 “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”, siapakah yang dimaksud dengan “jemaat”? Bukankah suami dan istri juga? Maka perintah untuk saling mengasihi pun dituntut kepada suami-istri agar kesejahteraan terwujud. Tanpa berjalan beriringan, mustahil kesejahteraan terwujud. Ketundukan istri kepada suami yang tunduk kepada Allah adalah bagian dari tindakan kasih itu sendiri.
~
Yuli
~
Mbak Oda & Tim IDI Yth.,
Maksud saya, belum cukuplah Efesus 5:22-33 menjamin keluarga yang harmonis lahir batin. Misalnya:
1. Siapa yang bertanggungjawab terhadap tegaknya ekonomi keluarga, suami atau istri?
2. Tindakan apa yang diizinkan dan atau tidak dibolehkan oleh Injil, jika suami (kepala istri) menghadapi satu kasus tertentu yang berujung pada “meragukan kesetiaan istri”?
Jika Injil tidak mengatur hal itu, maka menurut hemat saya, keharmonisan keluarga sangat dipengaruhi oleh peradaban dan budaya serta pendidikan suami istri. Terima kasih
Salam.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Menanggapi pertanyaan Anda di atas, silakan renungkan dan pahami kembali dua komentar kami sebelumnya.
Ciri dari ajaran Allah sejati selalu berupa nilai kebenaran hakiki yang mengatasi segala segi sehingga mendorong umat-Nya bertumbuh terus ke arah kedewasaan rohani. Dengan tercapainya kedewasaan rohani, seseorang dengan lebih mudah mampu mengambil langkah solutif yang bijak, seturut dengan prinsip dasar yang firman Allah telah tetapkan.
~
Yuli
~
Kami wanita-wanita Muslim bangga dengan agama kami dan bersyukur dengan agama kami. Kami tidak pernah merasa terdiskriminasi sama sekali. Mengkaji sebuah Hadits jangan setengah-setengah terutama ayat Al-Quran karena semua ayat saling terkait, tidak bisa diartikan secara terpisah.
Dalam Islam sebenarnya wanita sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Wanita bukan najis tapi haram bersentuhan kulit langsung dengan laki-laki yang bukan muhrim. Tolong telaah lagi baik-baik sebelum mempostingnya.
~
Sdr. Royani,
Berbahagialah Anda yang merasa tidak pernah terdiskriminasi akibat ajaran agama Anda karena Anda hidup di negara yang tidak menerapkan syariat Islam. Mari, tengok betapa malangnya nasib rekan-rekan wanita yang hidup di negara-negara berikut: http://tinyurl.com/lrjpaa2.
menanggapi pernyataan Anda: “Dalam Islam sebenarnya wanita sangat dihormati dan dijunjung tinggi”, bagaimana Anda menjelaskannya jika dikaitkan dengan semua isi Hadits dan Al-Quran yang kami tuliskan di atas? Benarkah ayat-ayat tersebut memberikan penghormatan dan junjungan bagi kaum wanita?
~
Yuli
~
Mbak Yuli dan Tim Yth.,
Terimakasih atas tanggapannya. Sangat bagus, cukup memberikan pencerahan. Tapi menurut hemat saya, hal itu lebih sebagai pendapat staff daripada menyajikan klausul Injil yang menjanjikan bahwa istri/calon istri dijamin tidak mendapat perlakuan di luar batas dari suaminya saat error rumahtangga terjadi. Jika cinta sedang berkembang, tidak usah disuruh oleh agama, pastilah akan saling memperlakukan dengan baik. Justru pada saat terjadi “genting”, mustinya Alkitab mengambil peran dengan membatasi tindakan-tindakan para pelaku rumahtangga, bukannya hanya menganjurkan mengasihi dan mengasihi melulu.
Saya masih berharap, mbak Yuli, mbak Oda, dkk bisa menemukannya di Injil. Terima kasih.
Salam.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Menurut Anda, seberapa luas kasih diaplikasikan dalam tindakan nyata? Jika ini bisa Anda jawab dengan baik, Anda menemukan esensi jawaban dari pertanyaan Anda sendiri.
Menanggapi pertanyaan Anda, “Justru pada saat terjadi “genting”, mustinya Alkitab mengambil peran dengan membatasi tindakan-tindakan para pelaku rumahtangga, bukannya hanya menganjurkan mengasihi dan mengasihi melulu”, apakah kasih tidak menjadi batasan jelas bagi masalah rumah tangga?
Menurut Anda:
– Apakah setia pada pasangan dalam suka-duka bukan termasuk kasih? (Kitab Nabi Maleakhi 2:14)
– Apakah tidak berlaku kasar baik (fisik dan psikis) bukan tindakan kasih? (Surat Kolose 3;19)
– Apakah bersikap rendah hati, jujur, terbuka, bersedia dikoreksi, bukan sikap kasih? (Surat 1 Korintus 13:4-7)
– Apakah minta maaf dan memaafkan bukan tindakan kasih? (Surat Kolose 3:13)
Jika kalimat yang diawali dengan kata “tidak” diatas Anda ganti “dilarang”, dan yang lainnya diawali kata “wajiblah”, tidakkah kasih menjadi batasan yang sangat nyata untuk menyelesaikan masalah rumahtangga?
Jadi, benarkah argumentasi kasih hanyalah rekaan Admin dan bukan dari Injil? Bukankah telah kami kutipkan sebelumnya dari Alkitab, “… Allah adalah kasih” sehingga “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah …” (Injil, Surat 1 Yohanes 4:8)?
~
Yuli
~
Ulangan 25:11-12 : “Apabila dua orang berkelahi dan isteri yang seorang datang mendekat untuk menolong suaminya dari tangan orang yang memukulnya, dan perempuan itu mengulurkan tangannya dan menangkap kemaluan orang itu, maka haruslah kaupotong tangan perempuan itu; janganlah engkau merasa sayang kepadanya”.
Respon: Sadisnya ajaran Alkitab dalam memperlakukan wanita.
~
Sdr. Zakir Naik (Sdr. Usil),
Ayat di atas telah berkali-kali Anda munculkan dalam berbagai artikel kami dan telah kami jawab dengan tuntas.
Namun baiklah, kami tuliskan ulang jawabannya. Esensi dari ayat yang ditulis dalam Kitab Perjanjian Lama tsb memuat makna bahwa tindakan pembelaan diri sekalipun, bila dilakukan secara biadab juga dipandang bersalah di hadapan Tuhan. Hal ini senada dengan ayat firman Tuhan dalam Kitab Perjanjian Baru, “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!” (Injil, Surat Roma 12:17).
Ohya Sdr Usil, komentar Anda lainnya terpaksa kami hapus karena tidak berkaitan dengan isi artikel. Mohon maaf.
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli,
Terimakasih atas tanggapan dan kutipan ayat-ayat pendukung. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, jika suami-istri sedang diselimuti cinta, ayat-ayat tulisan Santo Paulus itu mudah diterapkan. Ekstremnya, tanpa membaca Alkitab pun rumahtangga akan mulus-mulus saja. Tapi pada saat marah, curiga, cemburu dsb, maka seseorang membutuhkan acuan yang aplikatif. Jika suami melakukan tindakan yang melebihi batas yang ditentukan agama kepada istri, maka si suami pantas menerima sanksi dari Tuhan (di dunia/akhirat).
Berbeda dengan adat istiadat. Acuan hidup rumahtangga harmonis bisa dibaca pada kidung dan tembang. Tapi jika kondisi “genting”, tidak memberikan solusi konkrit. Juga tidak mampu memberi sanksi pada pelanggarnya.
Bukankah begitu?
Terimakasih.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Perlu kami luruskan, Alkitab bukan hanya ditulis oleh rasul Paulus, tapi oleh sekitar 40 penulis dalam rentang 15 abad, dan isinya saling terkait! Nyata bila Inspirator Tunggalnya Allah. Nah, ayat-ayat yang kami kemukakan selain ditulis rasul Paulus juga rasul Yohanes dan nabi Maleakhi.
Cinta berbeda dengan kasih. Cinta suami-istri yang Anda maksudkan adalah “eros” (cinta birahi) yang cepat sirna seiring waktu. Maka benar bila Anda katakan di situasi “genting”, yang tersisa hanyalah saling menyakiti.
Sebaliknya, Isa Al-Masih mengajarkan “agape” (kasih ilahi), yakni kasih tanpa syarat, kasih yang memberi dan bukan menuntut. Bukankah Allah tetap memberkati saya dan Anda sekalipun kita sering menyakiti hati-Nya? Itulah agape, yang bukan saja menjadi dasar hidup berumahtangga, tapi juga dasar berelasi dengan sesama: “… Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Injil, Rasul Besar Matius 22:39).
Karena tanpa syarat, agape tidak lekang oleh apapun termasuk badai hidup. Maka, agape haruslah menjadi dasar awal karena hanya agape-lah yang memberi solusi tuntas bagi setiap pergumulan rumahtangga.
Kini, bisakah Anda lihat bila semua kiat sukses berumahtangga dari berbagai budaya, lembaga, maupun media justru bersumber dari Alkitab?
~
Yuli
*
“Mengapa ajaran dalam hadist tentang wanita umumnya mendiskriminasikan wanita?”
Karena wanita umumnya kuat dan perasa. Maka laki-laki sulit untuk mengimbanginya. Karena itu wanitalah yang menjadi sorotan!
*
Sdr. Dicky,
Terimakasih atas kesediaan Anda menjawab satu dari tiga pertanyaan fokus artikel.
Jika demikian Sdr. Dicky, menurut Anda, apakah ajaran diskriminasi wanita pada hadits adalah ajaran dari Allah? Ataukah ajaran ini hanyalah buatan pria untuk menutupi rasa keinferioritasan mereka?
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli
Terlalu naif untuk dipungkiri bahwa banyak wilayah (nusantara/mancanegara) yang belum/tidak tersentuh Alkitab, budaya, sastra dan tradisinya sudah adiluhung. Para pujangganya telah “menganggit” tembang, pantun dan kidung yang berisi pesan-pesan yang sarat makna. Bukankah begitu faktanya?
Baiklah, agaknya mbak Yuli sudah mulai kehabisan kata. Diskusi kita alihkan pada sisi perempuan. Bukankah artikel ini, artikel “memukul istri”, dan artikel “melayani istri” adalah terkait dengan suami, istri, dan hubungan seks? Seorang istri Kristiani haruslah memenuhi Efesus 5:22-24 (tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan, dst) agar memperoleh kasih suami sebagaimana Efesus 5:25. Pertanyaannya: Seperti apakah istri yang seperti itu?
Terima kasih.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Jika Anda memaknai Alkitab sekedar buku yang baru ditulis di masa Taurat, Anda belum mempelajari isi Alkitab. Alkitab adalah firman Allah, sabda Sang Khalik semesta. Sejak sebelum Alkitab dibukukan, Allah telah mencipta lewat firman-Nya. Di dalam Alkitab pula kita ketahui bahwa manusia yang semula diciptakan mulia, akhirnya oleh kehendak bebasnya memilih jatuh dalam dosa (Kitab Kejadian 3). Dari sanalah semua penderitaan bermula, dan bagaimana kasih Allah tetap menolong manusia kembali berelasi dengan-Nya lewat berbagai hukum-Nya. Ini semua Adam-Hawa terima dan diteruskan kepada generasi selanjutnya. Tentu Anda tidak memungkiri bila nenek moyang Anda yang menurut Anda belum tersentuh Alkitab sekalipun juga keturunan Adam-Hawa, bukan? Apakah mereka tidak mewarisi pengajaran Allah dari generasi-generasi sebelumnya? Tidak dipungkiri bila berjalannya waktu, dosa tetap ambil bagian dalam membiaskan pengajaran Allah tsb sehingga muncullah berbagai corak kepercayaan.
Tujuan dari firman Allah dalam Surat Efesus 5:22-33 bukan agar istri memperoleh kasih dari suami, melainkan perintah yang imbang baik kepada suami maupun istri untuk hidup saling mengasihi sebagaimana Kristus juga telah mengasihi jemaat-Nya. Dengan mempraktikkan kehidupan suami-istri yang saling mengasihi, menjadi wujud nyata kasih jemaat kepada Kristus sebagai kepala.
~
Yuli
~
Muhammad: “Keridhoan Tuhan tergantung Keridhoan ibu bapa”. Alangkah indahnya ajaran Muhammad dengan meletakkan ibunya pada tempat yang paling mulia dalam hubungannya dengan Tuhan.
Yesus: “Akulah Kebenaran dan Hidup, tiada yang datang kepada Bapa kecuali melalui Aku” (Alkitab). Ayat apapun yang mau digunakan oleh umat Kristen untuk membuktikan bahwa Yesus menghargai ibunya tidak akan berguna karena ayat yang sudah disebutkan di atas adalah pondasi utama ajaran dan teologi Kristen yang membuktikan bahwa Yesus adalah anak durhaka. Karena ia dengan lancang berani mengatakan bahwa manusia hanya bisa datang kepada Tuhan melalui Dia, padahal Dia sendiri didatangkan Tuhan ke dunia melalui rahim ibunya. Kalau ibunya sendiri yang melahirkannya sudah tidak dihargainya, apa lagi wanita yang lain?
~
Sdr. Zakir Naik (Sdr. Usil),
Seandainya alur pikir Anda yang aneh tsb diikuti, tidakkah lebih durhaka jika demi memenuhi tuntutan Anda tentang sabda mana yang menyatakan Yesus menghormati ibunya, Yesus berkata bila satu-satunya jalan keselamatan adalah lewat ibunya (Maria), dan bukan diri-Nya yang adalah Tuhan?
Berpikirlah lebih logis untuk sebuah argumentasi yang berbobot, Saudaraku.
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli,
Saya benar-benar mohon maaf telah melontarkan pertanyaan yang sangat sulit kita jawab oleh perempuan masa kini. Kita, perempuan yang telah memperoleh pendidikan modern setara dengan pria, ditambah pengaruh emansipasi, ataupun paham feminisme, tentunya “sangat tidak rela hati” jika harus diposisikan serendah itu. Rasa-rasanya, semakin tinggi pendidikan dan modern peradaban, ayat itu semakin tidak terjangkau. Oleh karena itu, kita abaikan saja.
Sebelum membahas seks antara suami-istri, kita beralih sejenak ke peran lain yang harus dipikul oleh wanita dalam rumahtangga, yakni sebagai ibu dari putra-putri yang dilahirkan.
Bagaimana Alkitab memberi petunjuk? Surat mana hal itu bisa kita dapatkan? Mohon dibantu.
Terima kasih.
.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Kebenaran Alkitab tidak pernah dipengaruhi oleh faham feminisme. Justru dari Alkitab, firman Allah yang menyatakan kesetaraan kedudukan pria-wanita sejak awal penciptaan (Taurat, Kitab Kejadian 1:27 dan 2:18), manusia disadarkan bahwa sistem diskriminasi hanyalah produk dari manusia berdosa, bukan konsep dari Allah. Maka, tidak ada jalan lain untuk perbaikan dan pemulihan selain kembali kepada konsep Alkitab yang berisi firman kebenaran absolut dari Allah.
Mari kembali berfokus pada topik artikel di atas. Bagaimana Anda menyikapi ajaran Hadits serta Al-Quran yang mendiskreditkan wanita seperti tercantum dalam artikel? Apakah ayat-ayat tsb sungguh berasal dari Allah, atau hanyalah produk dari budaya patriarkhi?
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli,
Ok. Kita awali dari sub judul “Wanita Muslim Harus Siap Sedia Melayani Suami”. Di sana Anda mengulas beberapa hadist, tanpa didahului kutipannya. Membangun kesan seolah hubungan seks suami-istri Muslim semata-mata otoritas suami. Istri dalam keterpaksaan, tidak menikmati dan merasakan manfaat dari hubungan badan karunia Allah itu.
Untuk menjawab permintaan Anda, kali ini saya awali dari ilmu pengetahuan hasil temuan para pakar biologi, kedokteran dsb (bisa jadi awalnya diilhami dari hadist tersebut). Mengatakan bahwa spermatozoa berenang (aktif) menuju sel telur (menunggu). Bukan sebaliknya, bukan pula dua-duanya berpacu untuk bertemu. Selain itu, sperma lebih cepat matang daripada sel telur. Hal itu berpengaruh pada psiko-biologis.
Dari sisi anatomi, hubungan seks suami-istri bisa berlangsung, jika suami dalam kondisi siap tempur. Oleh karena itu, sangat normal jika suami berinisiatif untuk sering mengajak istrinya berintim-intim. Bukankah begitu?
Agar adil, tentunya Anda tidak keberatan mengutip hadits-hadits itu secara utuh.
Terimakasih. Salam.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Terimakasih untuk argumentasi Anda lewat topangan hasil riset tentang mekanisme reproduksi manusia. Kami tidak mempermasalahkannya karena hasilnya teruji secara ilmiah. Namun asumsi bila riset tsb “bisa jadi” diilhami dari hadits-hadits, masih perlu diperiksa ulang kebenarannya.
Riset juga menunjukkan, aktifitas seksual yang sehat bukan melibatkan faktor biologis saja, tapi faktor psikis yang juga berperan sangat besar mempengaruhi kesiapan mekanisme biologisnya. Tentu Anda pun paham bila seks diciptakan Allah agar suami-istri dapat menikmatinya. Salah satunyauntuk “penyegaran/rekreasi” (fisik dan emosional). Sebaliknya, bayangkan bila hanya satu pihak saja yang menikmati, sementara rekan mainnya tidak. Tentu tujuan “penyegaran” tidak tercapai. Lambat laun justru menumpuk dan menjadi “api dalam sekam” yang siap meledak kapanpun hingga mengguncangkan rumahtangga.
Kitab Allah menuliskan: “Kasih itu sabar … tidak mencari keuntungan diri sendiri …” (Injil, Surat 1 Korintus 13:4-5). Di artikel lain kita pernah mendiskusikan “kasih” sebagai landasan hidup berumahtangga. Nah, apakah saat suami berinisiatif berhubungan seks dengan istrinya, prinsip kasih dalam ayat tsb layak dikesampingkan demi dorongan biologisnya? Pria yang bijak tentu bisa mengambil sikap yang tepat dengan melihat situasi dan kondisi istrinya. Demi kenikmatan bersama, apakah keduanya tidak bisa saling bernegosiasi? Di sinilah kesabaran kasih berperan besar. Atau menurut Anda, apakah dengan tidak terpenuhinya hasrat seksual suami saat itu juga, merusakkan mekanisme biologisnya? Tentu tidak, bukan?
Maka menurut kami, tidak ada korelasi signifikan antara isi hadits dengan hasil riset yang Anda sampaikan. Justru isi hadits tsb mengesampngkan landasan terpenting yang Allah tetapkan, yaitu kasih terhadap pasangan.
~
Yuli
~
Yth, mbak Yuli,
Terimakasih. Sambil menunggu kebesaran hati Anda mengutip hadits-hadits itu secara utuh, saya persilakan Anda menyajikan ayat-ayat PL dan PB yang berkait dengan hubungan seks suami-istri.
Bukankah Anda belum menampilkannya dalam artikel? Barangkali ada ayat yang bisa diindikasikan menginspirasi ilmu pengetahuan tentang seks dan reproduksi.
Terimakasih.
~
Sdr. Merry Maryah,
Dengan menuliskan daftar alamat hadits-hadits sebagaimana terbahas dalam artikel, setiap pembaca diberikan kesempatan melakukan pemeriksaan langsung secara mandiri. Ini memberikan pembelajaran yang baik kepada kita untuk lebih kritis menggali dan mencerna suatu ajaran.
Saudaraku, kitab Allah berbicara tentang isi hati Allah kepada manusia, ciptaan yang sangat dikasihi-Nya. Jika kitab Allah sekedar berisi serpihan info tentang pengetahuan alam sekitar yang sejak awal sudah Allah percayakan lewat logika manusia guna menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan, tentu tidak ada perbedaan antara kitab Sang Pencipta dengan kitab buatan mahluk ciptaan-Nya, bukan?
Kitab Allah berbicara tentang kehidupan kekal yang pasti menunggu setiap kita. Tentu logika dan ilmu pengetahuan manusia yang masih terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu belum dapat menjangkaunya sehingga Allah perlu memberitahukannya kepada kita lewat kitab-Nya. Kehidupan kekal adalah intisari kitab Allah, bukan kehidupan fana yang pasti lenyap. Bahwa Allah oleh kasih-Nya telah menyediakan jalan keluar bagi masalah terbesar manusia yaitu dosa.
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli,
Tidak dipungkiri bahwa budaya mewarnai perikehidupan sehari-hari, apapun agamanya. Iptek berpengaruh pada perkembangan budaya. Seni menjadikan indah. Norma dan aturan agama menuntun perilaku manusia pada jalan yang diridhai (dikehendaki dan direstui) Allah.
Kitab suci adalah pegangan dan tuntunan hidup manusia. Menurut hemat saya, kitab suci yang sempurna adalah yang mampu mengakomodasi dan menginspirasi semua itu.
Bagi manusia, kitab suci adalah “given” yang harus diterima apa adanya sebagai pedoman hidup. Jika ada ayatnya, kita tunaikan sepenuh hati, tapi jika tidak ada ayatnya, berarti kitab suci tidak mengatur, tidak menginspirasi dan tidak mengabarkan. Jika butuh acuan, mau tidak mau harus ikut budaya yang diinspirasi oleh kitab suci lain.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Bagaimana dengan Al-Quran sendiri? Apakah Al-Quran mengakomodasi tujuan akhirat umat manusia yaitu keselamatan di sorga jika kitab tsb Anda yakini sempurna?
Bukankah Qs 19:71 dan Qs 43:74 justru memberikan kepastian pada semua umat manusia bahwa neraka kekallah tempat akhirnya karena semua manusia berdosa? Maka, Qs 2:82 yang menyebutkan iman dan amal saleh dapat memasukkan manusia ke sorga justru tidak masuk akal karena nabi Anda pun dalam HR. Muslim no. 2817 menyebutkan bila amal tidak bisa membawa kita ke sorga. Dengan demikian, tidak ada kepastian apapun terhadap keselamatan akhirat manusia dalam Al-Quran, bukan?
Salah satu ciri kitab Allah adalah keakuratannya terhadap fakta. Para arkheolog dunia telah membuktikan bahwa berbagai info detail dalam Alkitab seperti peristiwa, nama tempat, dan tahun berlangsungnya kejadian telah secara akurat terbukti dari temuan fisik yang tergali. Sebaliknya, Al-Quran justru tidak menunjukkan hasil yang sama. Salah satu contohnya, situs Ka’bah di zaman Ibrahim (Qs 2:127 dan Qs 22:26) yang tidak bersesuaian dengan fakta sejarah (silakan baca artikel berikut: http://tinyurl.com/jcabyv9 untuk mengetahui rinciannya).
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli,
Terkait cuplikan hadist pada artikel maupun komentar Anda, para Muslimah tidak terkejut dan tidak takut. Mengapa? Karena berbagai ayat Al-Quran dan Hadits mengatur dan menasihati suami, bagaimana mendatangi istrinya dengan cara yang baik. Salah satunya, Islam mewajibkan berdoa sebelum kami memulainya.
Justru sangat sulit diduga, jika agama tidak mengatur hubungan seks suami-istri. Mereka bisa setiap waktu tanpa rambu, dengan sekehendak selera menyalurkan nafsu birahi suami, istri atau dua-duanya menurut imajinasi dan budaya yang melingkupi. Jika lingkungannya budaya yang santun, hampir bisa dipastikan hubungan seks mereka juga santun. Tapi jika vulgar, ngeri. Maaf, saya tidak berani membayangkan. Bukankah begitu?
~
Sdr. Merry Mariyah,
Bila kesempurnaan kitab suci yang Anda maksudkan ketika isinya juga mengatur bagaimana cara berhubungan seks, apa bedanya dengan buku-buku kiat seks terbitan para seksolog?
Tentu Anda setuju bila manusia bukan robot. Sejak semula Allah menciptakan manusia “segambar” dengan-Nya (Taurat, Kitab Kejadian 1:26). Artinya, manusia dikaruniai hikmat untuk mengatur dan mengelola kehidupan seturut dengan maksud mulia Allah. Ketika dalam kitab suci-Nya, Allah mewahyukan lewat rasul-Nya: “… kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya” (Injil, Surat Efesus 5:33), sementara di bagian lain kasih dideskripsikan sbb: “Kasih itu sabar; … tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri” (Injil, Surat 1 Korintus 13:4-5), apakah dengan firman Allah tsb manusia tidak bisa menggunakan hikmatnya untuk menetapkan langkah-langkah yang tepat dalam hubungan seksnya dengan suami/istrinya berdasarkan kasih sebagaimana Allah kehendaki?
Firman dalam kitab Allah bernilai kekal karena bertujuan mendewasakan rohani umat-Nya. Sebaliknya, jika isinya sekedar “juklak” (petunjuk pelaksanaan) untuk bertindak A atau B, buku tsb bukan kitab Allah karena hanya ditujukan bagi “kanak-kanak” yang baru bisa bertindak jika dituntun tanpa pernah mengerti esensi dari tindakan yang dikerjakan.
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli,
Tidak dipungkiri bahwa manusia mampu menaklukkan binatang dan alam raya, tapi juga tidak berdaya terhadap nafsunya. Terbukti banyak manusia melakukan perbuatan dosa. Allah menetapkan bahwa manusia bebas memilih jalan hidupnya, ingin berkehidupan yang diridhai-Nya atau mengikuti bisikan setan.
Allah Maha Kaya sekaligus Maha Adil. Maka setiap pilihan Dia sediakan konsekuensinya, stimulus, dan sanksinya.
Allah Maha Suci dan Maha Kuasa, sangat mudah bagi-Nya menciptakan manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan suci. Dengan kasih dan rahmat-Nya, Allah menghendaki agar manusia selamat kembali kepada-Nya, tidak tergelincir pada godaan setan. Oleh karena itu, Dia terbitkan petunjuk, ketentuan dan rambu-rambu dalam berbagai aspek kehidupan.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Mengutip tulisan Anda: “Tidak dipungkiri bahwa manusia mampu menaklukkan binatang dan alam raya, tapi juga tidak berdaya terhadap nafsunya”, menurut Anda, mengapa manusia tidak berdaya terhadap nafsunya? Jawabannya adalah “tabiat dosa” yang melekat pada Adam dan seluruh generasinya. “Tabiat dosa” ini berkuasa sehingga tidak satupun manusia yang tidak ditaklukkannya. Kehendak bebas manusia pun turut ditaklukkan oleh kuasa dosa, sehingga setiap pilihannya selalu menjauh dari Allah: “Allah memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia, untuk melihat apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah. Mereka semua telah menyimpang, sekaliannya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak” (Mazmur 53:3-4).
Dalam kemahabenaran Allah, tentu Anda sepakat bila masing-masing sifat kemahaan-Nya tidak mungkin saling bertentangan, bukan? Kemahakuasaan Allah tidak mungkin melanggar kemahaadilan-Nya. Maka, jika Anda katakan: “Allah Maha Suci dan Maha Kuasa, sangat mudah bagi-Nya menciptakan manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan suci”, konsep ini jelas meniadakan kelogisan dan keadilan Allah:
– Bagaimana mungkin buah berkualitas prima dihasilkan dari pohon berpenyakit? Tidak logis!
– Bagaimana mungkin bayi yang sudah “bertabiat dosa” dikatakan suci sehingga lolos dari hukuman kekal? Tidak adil!
Satu-satunya konsep keselamatan yang memenuhi semua unsur kemahaan Allah adalah “penebusan” oleh Isa Al-Masih:
– Maha Penyayang: Allah ingin semua manusia selamat (lolos) dari hukuman kekal akitab dosa
– Maha Benar: setiap langkah Allah tidak bertentangan dengan berbagai sifat kemahaan-Nya
– Maha Adil: konsekuensi logis dari dosa adalah hukuman kekal
– Maha Kuasa: Allah menjelma menjadi “Manusia Suci” dalam diri Isa Al-Masih untuk menggantikan hukuman kekal kita.
Rencana “penebusan” ini sudah Allah tetapkan sejak Adam-Hawa memilih untuk berdosa (Taurat, Kejadian 3:21). Kemudian Allah nubuatkan ulang pada Abraham lewat peristiwa pengorbanan Ishak yang Allah ganti dengan seekor domba jantan (Taurat, Kejadian 22). Dalam kepemimpinan Musa pun bangsa Israel mempraktikkan korban penebusan dosa (Taurat, Imamat 5:15) sebagai perlambang hingga Allah benar-benar menggenapi rencana-Nya lewat kematian dan kebangkitan Isa Al-Masih.
~
Yuli