Memiliki anak adalah kerinduan pasangan yang menikah. Sayangnya, tidak semua pasangan ini memperoleh keturunan. Berbagai usahapun dilakukan agar mendapatkan keturunan. Bagi pasangan yang tidak dapat menerima kenyataan tersebut, tidak jarang mereka mengambil jalan keluar dengan bercerai. Sepertinya mereka lupa, bahwa anak adalah anugerah dari Allah.
Apakah Allah membenarkan perceraian karena tidak punya anak?
Ajaran Islam Tentang Memiliki Keturunan
Islam mengajarkan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memiliki keturunan. Islam menyarankan agar pria Mukmin menikahi wanita yang dapat mempunyai anak banyak. “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak . . . ” (Hadis, Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik).
Bagaimana bila ternyata salah satu pasangan mandul? Islam mengijinkannya untuk bercerai, berdasarkan syarat-syarat dalam ajaran Islam. Dapat disimpulkan, perceraian karena tidak punya anak menurut Islam adalah jalan yang halal. “’Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Mushannaf: Bahwa Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, pernah mengutus seseorang sebagai petugas zakat di daerah tertentu. Ternyata dia menikah dengan wanita di daerah itu, padahal dia mandul. Umar-pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah memberi tahu istrimu bahwa kamu mandul, tidak bisa punya anak?” “Belum” Jawab orang ini. Umar menasehatkan, “Sampaikan kepadanya bahwa kamu mandul, kemudian berikan hak pilih untuknya”’ (Mushannaf Abdur Razaq, no. 10347).
“Perceraian Karena Tidak Punya Anak” Sesuaikah Dengan Ajaran Kristen?
Kekristenan mengajarkan bahwa memiliki anak adalah hal yang baik. Namun Kitab Allah juga mengajarkan bahwa anak adalah anugerah Allah (Taurat, Kitab Kejadian 4:1; 33:5). Ia berkehendak untuk menganugerahkannya atau tidak. Ia bahkan juga mengambilnya kembali! Semua berada pada kehendak-Nya.
Sedangkan bagi wanita yang tidak memiliki anak, inilah kata firman Allah tentang hal ini. “Ia mendudukkan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh sukacita!” (Kitab Mazmur 113:9).
Setiap Pasangan Memerlukan Damai Sejahtera dari Isa Al-Masih
Sebuah pernikahan yang tidak dikaruniai anak, memang terkadang menimbulkan dampak negatif. Misalnya minder ataupun merasa rendah diri. Akhirnya pasangan tersebut tidak memiliki damai sejahtera bahkan tidak jarang berakhir pada perceraian.
Tetapi kesetiaan dan kasih terhadap pasangan lebih penting dari mempunyai keturunan. Tujuan utama ialah memuliakan Allah. Hal itu dapat terwujud dengan melindungi pasangan. Tidak dengan menceraikannya. Ingatlah, nasiblah kita di sorga lebih penting dari mempunyai keturunan di bumi!
Dalam Kitab Allah Isa Al-Masih berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Injil, Rasul Besar Matius 11:28). Bila saat ini Anda tidak memiliki damai sejahtera akibat tidak kunjung mempunyai keturunan. Penuhilah undangan Isa Al-Masih tersebut. Maka Dia akan mengangkat segala beban Anda!
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Mengapa Islam mengajarkan untuk memiliki anak banyak?
- Apakah Anda setuju dengan perceraian jika terdapat pasangan Muslim yang mandul? Mengapa?
- Mengapa Kekristenan tidak mengajarkan perceraian bagi pasangan yang tidak memiliki anak?
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. Atau SMS/WA ke: 0812-8100-0718
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini.
*****
Jawaban atas fokus pertanyaan:
1) Mengapa Anda masih bertanya hal ini pada orang Islam? Bukankah Alkitab Anda sendiri sudah memerintahkan manusia untuk beranak pinak memenuhi bumi? Anak adalah amanat dan cobaan dari Allah. Islam tidak mengajarkan umatnya beranak banyak secara kuantitas, tetapi bagaimana mengelola amanat dan cobaan yang diberikan Allah padanya dengan baik semaksimal mungkin. Itulah yang akan dipertanggungjawabkan.
2) Setuju jika ada salah satu pihak (atau dua-duanya) yang tidak ridha dengan keadaan itu. Karena sesuatu yang dibangun dengan dasar ketidakridhaan akan kehilangan berkahnya. Sebaliknya, kalau sama-sa a ridha, untuk apa bercerai?
3) Tidak mengajarkan tetapi membolehkan. Disebut apa? Konsistensi?
~
Sdr. Ata,
Terlimakasih telah berpartisipasi menjawab pertanyaan fokus. Berikut tanggapan kami:
#1: Kami menanyakannya berdasarkan hadits “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak … ”. Jika anak adalah amanat Allah, di manakah hubungan antara mengelola amanat Allah dengan anjuran beranak banyak? Bukankah kita tidak bisa memaksa Allah memberi anak banyak sedangkan kita tidak tahu seberapa sanggup mengelola amanat-Nya?
#2: Siapa penguasa kehidupan? Kita sendiri, atau Allah? Jika segala hal bergantung pada keridhaan kita, apakah kita hendak mengabaikan keridhaan Allah? Contoh: Bagaimana jika istri ingin bercerai karena ia tidak ridha dengan lemahnya perekonomian suami? Bukankah menurut Anda “…sesuatu yang dibangun dengan dasar ketidakridhaan akan kehilangan berkahnya” ?Maka, tidak konsisten bila Anda menuduh sang istri durhaka karena tidak setia pada komitmen pernikahan, bukan? Demikian juga dengan anak. Jika Allah belum ridha mengaruniakannya, tidak ada alasan bercerai (melanggar kesetiaan komitmen pernikahan) karena tidak ridha dengan kehendak Allah.
#3: Jika Islam mengakui Injil adalah petunjuk bagi orang bertakwa (Qs 5:46), mengapa ayat Injil “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Injil, Rasul Besar Matius 19:6) Anda abaikan?
~
Yuli
~
Sdr Yuli,
#1: Maknanya jelas: dengan semakin banyak anak, makin banyak pendukung (yang berkualitas iman tentunya), maka Islam akan semakin berkibar. Jika Muslim lemah, maka akan mudah ditindas oleh pihak-pihak yang menentangnya. Logis sekali alasannya.
#2: Saya tidak paham maksud tulisan anda.
Pilih mana yang terbaik, membela rumah tangga yang sudah bercita rasa neraka, atau menghindarkan jatuh ke maksiat?
#3: Apa yang dipersatukan Tuhan, tidak bisa diceraikan manusia. Kalau bisa diceraikan manusia, hakikatnya Tuhan juga memberi ijin untuk memisahkan meraka. Bukankah tidak ada kejadian yang bisa terjadi tanpa ijin Tuhan?
~
Sdr. Ata,
Terimakasih atas tanggapan Anda.
#1: Kini makin jelas, perintah siapakah agar Muslim beranak banyak? Perintah Allah, atau pendiri Islam yang takut kekuasaannya runtuh? Jika suatu ajaran berasal dari Allah, Allah pasti melestarikannya, bukan? Tanpa harus dianjurkan beranak banyak pun, Allah pasti mengaruniakannya.
#2: Anda bukannya tidak paham maksud kami. Dengan pertanyaan balik yang Anda ajukan, justru menampakkan keengganan menaati ridha Allah. Ridha Allah jelas: kesetiaan komitmen pernikahan (Injil Matius 19:6).
#3: Anda lupa bahwa Allah memberi kehendak bebas kepada kita. Anda bukanlah robot. Allah sudah memberitahukan rambu-rambu beserta akibatnya. Jika manusia memutuskan melanggarnya, ini adalah kehendak bebasnya, bukan karena Allah meridhoi keputusannya. Maka, manusia harus siap dengan segala akibat buruknya.
~
Yuli
~
Muslim menganggap istri sebagai mesin pencetak anak, sedangkan Kristen menganggap istri sebagai partner atau pasangan hidup.
~
Sdr. Kb,
Terimakasih untuk tanggapan Anda.
Maka, jika kita menghormati dan menaati firman Allah yang menyatakan bahwa istri adalah penolong yang sepadan bagi suami (Taurat, Kitab Kejadian 2:18), keutuhan sekaligus kesejahteraan keluarga akan selalu terjaga, entah ada karunia anak ataupun tidak bagi keluarga tsb.
~
Yuli
~
Ternyata Yesus sendiri tidak memiliki solusi bagi pasangan yang tidak berketurunan.
~
Sdr. Gandhi Waluyan,
Terimakasih untuk komentar Anda.
Apakah Anda sudah memastikan kebenaran kesimpulan yang Anda ambil? Pada artikel kami lainnya, Alkitab membahas tentang adopsi anak. Bukankah ini solusi yang sangat bijak bagi pasangan yang tidak memiliki keturunan? Sayangnya, tindakan mulia ini justru tidak dijadikan solusi dalam agama Anda. Alasannya cukup menarik, bisa kita kaji lewat link artikel ini: https://tinyurl.com/y9kwlpzu.
Lalu, solusi seperti apa yang Anda harapkan? Apakah perceraian atau poligami dapat mengatasinya? Jika sebuah “solusi” merusak norma-norma lainnya, apakah masih layak disebut solusi? Bukankah semakin memperumit masalah? Bagaimana, Saudaraku?
~
Yuli