Sebelum menikah, saya ingin mencari isteri yang baik dan setia. Waktu itu, saya membaca buku dan artikel tentang bagaimana cara menemukan isteri baik. Saya juga mencari nasehat dari orang tua yang saya hormati.
Saya ingin menikah dengan wanita yang beriman, setia, menghormati orang lain, dan akan menjadi ibu yang baik. Tapi saya masih bertanya, adakah karakteristik lain yang lebih penting?
Isteri Islam: Menaati Suaminya
Menurut ajaran Islam, isteri yang baik selalu menaati suaminya (kecuali suami minta isteri melakukan sesuatu yang Allah larang). Kunci isteri masuk sorga adalah jika isteri Islam menaati suaminya. “Sesungguhnya (suamimu) adalah Surgamu dan nerakamu” (HR. Ahmad dan Nasa’I).
Misalnya, isteri tidak boleh puasa tanpa izin dari suami, “Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada . . . kecuali dengan izin suaminya” [HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026].
Isteri harus selalu memenuhi semua keinginan suami. “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya . . . maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh” (HR. Shahih Bukhari 2998).
Isteri yang layak dipuji adalah isteri yang menaati suaminya. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah” [HR. Muslim nomor 2668].
Dalam Al-Quran, tidak ada deskripsi lain tentang isteri yang baik, kecuali isteri menaati suaminya dan menjaga rumah serta anak. Jika Anda tidak setuju dengan penjelasan ini, silakan diskusi dengan kami lewat email ini.
Isteri yang Baik Menurut Ajaran Kristen
Dalam ajaran Kristen, isteri yang baik menghormati dan menaati suaminya. Dia juga menjaga rumah dan anaknya. Tapi, isteri yang paling baik adalah takut akan Allah.
“Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji” (Zabur, Kitab Amsal 31:30). Dan, “Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan . . . Ia membuka mulutnya dengan hikmat . . .” (Zabur, Kitab Amsal 31:25-26).
Maksudnya apa? Takut akan Allah berarti selalu menaati Allah. Selalu mengutamakan Allah di atas semua hal lain. Mengasihi Allah dengan segenap hati. Hanya orang yang takut akan Allah layak dipuji dan memiliki hikmat.
Jadi, isteri bertanggung-jawab kepada Allah terlebih dahulu, baru kemudian kepada suaminya.
Isa Al-Masih: Teladan yang Paling Baik
Walaupun Isa seorang pria dan tidak menikah, Dia teladan yang paling baik. Isa sangat takut akan Allah dan selalu menaati Allah. Isa selalu mengasihi, menghormati, dan melayani orang lain. Isa bahkan “. . . telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita . . .” (Injil, Surat 1 Yohanes 3:16).
Jika Anda ingin menjadi isteri yang baik, seyogyanya Anda mengikuti teladan Isa. Jika Anda ingin mencari isteri yang baik,carilah isteri yang mengikuti teladan Isa. Silakan mengemail kami jika Anda ingin belajar lebih lanjut tentang Isa.
[Staf Isa dan Islam – Untuk masukan atau pertanyaan mengenai artikel ini, silakan mengirim email kepada Staff Isa dan Islam.]
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Ketika saudara mencari isteri, isteri seperti apakah yang saudara cari? Atau, saudara ingin menjadi isteri seperti apa? Jelaskanlah alasan saudara!
- Mengapa dalam ajaran Islam, Allah memerintahkan isteri Islam menaati suaminya terlebih dahulu, baru kemudian Allah?
- Mengapa lebih penting bahwa isteri menaati Allah daripada suaminya?
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Ditulis oleh: Kaleb
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke: 0812-8100-0718.
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini.
adink al hamid mengatakan
~
Admin salah memaknai hadist. Dalam ajaran Islam, Allah adalah segalanya. Hadist di atas tidak membuktikan ketatan istri pada suami melampaui Allah. Hadist di atas bermakna bahwa hak suami itu besar. Dan hadist yang menerangkan larangan istri untuk puasa sunnah bukan wajib. Tolong jangan memberi ajaran sesat.
Jikalau istri sedang mens, haram hukumnya berhubungan badan. Banyak hadist yang menerangkan hal itu. Memang benar suami adalah penentu surganya istri. Tetapu bukan hanya taat pada suami, melainkan yang nomor satu taat kepada Allah. Dalam hadits pun ada.
Tolong jangan memberii ajaran yang tidak benar, apa lagi jika anda non-Muslim, jangan memberi ajaran Islam yang tidak benar.
staff mengatakan
~
Sdr. Adink Al Hamid,
Terimakasih untuk kesediaan Anda menanggapi komentar kami.
Saudaraku, kami tidak sedang memberikan ajaran yang tidak benar, melainkan mempertanyakan isi hadits-hadits yang terpetik dalam artikel. Bila benar “Allah adalah segalanya” sebagaimana Anda sampaikan:
1) Mengapa suami (bukan Allah) dijadikan penentu surga atau nerakanya isteri? Sedangkan itu semua Allah yang empunya, bukan suami.
2) Mengapa untuk ibadah puasa (sekalipun sunnah) sebagai bentuk bakti kepada Allah, seorang suami berkuasa menggagalkan ibadah isterinya hanya karena ia tidak mengizinkan? Maka timbul pertanyaan, mana yang lebih besar kuasanya terhadap isteri: Allah atau suami?
3) Jika penolakan isteri terhadap permintaan suami mendatangkan laknat dari malaikat, sedangkan tidak ada alasan pengecualian dalam konteks hadits tsb (misal haid, sakit, situasi tidak tepat lainnya), bukankah menunjukkan kuasa suami atas isterinya sangat besar, bahkan setara dengan Allah sebab mampu menggerakkan malaikat (para pelayan Allah) untuk melaknat isterinya?
Tiga pertanyaan ini menggugah kesadaran kita, seberapa besar kuasa suami sehingga Anda menyatakan “hak suami itu besar”? Sungguhkah “Allah adalah segalanya“, yakni melampaui kekuasaan suami, ketika dalam ketiga hadits tsb, Allah malah tidak kuasa berintervensi (campur tangan) terhadap kekuasaan suami atas isterinya?
~
Yuli
Yahya Mulya mengatakan
~
Umat Islam sangat paham bagaimana kita beramaliah dalam keseluruhan hidupnya. Ada tuntunannya dan kita lihat semua seragam dan teratur. Perbedaan ada namun hanya sedikit dan bersifat khilafiayah.
Seluruh aspek ritual kita lihat seragam. Kalau ada yang tidak paham atau ragu-ragu, umat islam paham harus bertanya kepada guru/ulama. Itulah kerendahdirian yang ditanamkan, bahkan hampir terlarang menyimpulkan Al-Quran dan Hadits tanpa bimbingan. Semua toh berjalan efektif dengan sendirinya. Seluruh aspek kehidupan ada tuntunan dan doanya. Hampir tidak ada umat Islam yang berani membuat aturan sendiri.
Soal hubungan suami istri, hampir tidak ada komplain. Semua sudah tahu dengan sendirinya karena ajaran Islam tidak bertentangan dengan kodrat alamiah manusia.
staff mengatakan
~
Sdr. Yahya Mulya,
Anda benar bahwa agama Anda memuat banyak sekali aturan rinci bagaimana umat Muslim harus menjalankan kehidupannya. Namun, kita pun harus jujur terhadap fakta, tidak menggeneralisir keadaan hanya dari keterbatasan pengamatan kita. Kita perlu membuka mata dan hati untuk peka pada berbagai fakta riil yang ada di masyarakat. Bukan hanya di daerah kita, tapi juga di berbagai belahan dunia.
Seandainya benar aturan yang ada berjalan efektif tanpa komplain karena tidak bertentangan dengan kodrat alamiah manusia sebagaimana asumsi Anda, bagaimana Anda menjelaskan:
1) Pergolakan politik hingga peperangan yang terjadi di negara-negara bersyariat?
2) Tertindasnya hak wanita dalam berbagai segi di negara-negara bersyariat seperti di Asia Selatan, Afrika, hingga Timur Tengah?
3) Sering terjadinya kasus pelecehan dan persekusi pada TKI dan TKW kita di negara-negara Muslim
4) Tingginya angka perceraian dan KDRT pada keluarga Muslim di Indonesia.
Saudaraku, ketika hasil dari aturan-aturan yang ada menunjukkan fakta yang berbeda dari asumsi Anda, bagaimana aturan-aturan tsb dapat memberikan kepastian jalan kebenaran yang menuntun pada kesejahteraan kekal di akhirat kelak? Mari pertimbangkan. Seandainya benar aturan-aturan tsb dari Allah, mengapa umat diharuskan bertanya pada ulama, bukan kepada Allah? Apakah Allah tidak bisa menjawab kerinduan hati umat-Nya secara pribadi? Bukankah Allah Pencipta umat, dan bukankah Ia Maha Kuasa dan Penyayang? Mustahil Yang Maha Penyayang tidak menunjukkan hubungan kasih-Nya kepada yang diciptakan-Nya, bukan? Mengapa harus lewat perantara yang juga sama-sama manusia berdosa? Atau, bukan Allah pembuatnya?
~
Yuli