Sebelum menikah, saya ingin mencari isteri yang baik dan setia. Waktu itu, saya membaca buku dan artikel tentang bagaimana cara menemukan isteri baik. Saya juga mencari nasehat dari orang tua yang saya hormati.
Saya ingin menikah dengan wanita yang beriman, setia, menghormati orang lain, dan akan menjadi ibu yang baik. Tapi saya masih bertanya, adakah karakteristik lain yang lebih penting?
Isteri Islam: Menaati Suaminya
Menurut ajaran Islam, isteri yang baik selalu menaati suaminya (kecuali suami minta isteri melakukan sesuatu yang Allah larang). Kunci isteri masuk sorga adalah jika isteri Islam menaati suaminya. “Sesungguhnya (suamimu) adalah Surgamu dan nerakamu” (HR. Ahmad dan Nasa’I).
Misalnya, isteri tidak boleh puasa tanpa izin dari suami, “Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada . . . kecuali dengan izin suaminya” [HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026].
Isteri harus selalu memenuhi semua keinginan suami. “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya . . . maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh” (HR. Shahih Bukhari 2998).
Isteri yang layak dipuji adalah isteri yang menaati suaminya. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah” [HR. Muslim nomor 2668].
Dalam Al-Quran, tidak ada deskripsi lain tentang isteri yang baik, kecuali isteri menaati suaminya dan menjaga rumah serta anak. Jika Anda tidak setuju dengan penjelasan ini, silakan diskusi dengan kami lewat email ini.
Isteri yang Baik Menurut Ajaran Kristen
Dalam ajaran Kristen, isteri yang baik menghormati dan menaati suaminya. Dia juga menjaga rumah dan anaknya. Tapi, isteri yang paling baik adalah takut akan Allah.
“Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji” (Zabur, Kitab Amsal 31:30). Dan, “Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan . . . Ia membuka mulutnya dengan hikmat . . .” (Zabur, Kitab Amsal 31:25-26).
Maksudnya apa? Takut akan Allah berarti selalu menaati Allah. Selalu mengutamakan Allah di atas semua hal lain. Mengasihi Allah dengan segenap hati. Hanya orang yang takut akan Allah layak dipuji dan memiliki hikmat.
Jadi, isteri bertanggung-jawab kepada Allah terlebih dahulu, baru kemudian kepada suaminya.
Isa Al-Masih: Teladan yang Paling Baik
Walaupun Isa seorang pria dan tidak menikah, Dia teladan yang paling baik. Isa sangat takut akan Allah dan selalu menaati Allah. Isa selalu mengasihi, menghormati, dan melayani orang lain. Isa bahkan “. . . telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita . . .” (Injil, Surat 1 Yohanes 3:16).
Jika Anda ingin menjadi isteri yang baik, seyogyanya Anda mengikuti teladan Isa. Jika Anda ingin mencari isteri yang baik,carilah isteri yang mengikuti teladan Isa. Silakan mengemail kami jika Anda ingin belajar lebih lanjut tentang Isa.
[Staf Isa dan Islam – Untuk masukan atau pertanyaan mengenai artikel ini, silakan mengirim email kepada Staff Isa dan Islam.]
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Ketika saudara mencari isteri, isteri seperti apakah yang saudara cari? Atau, saudara ingin menjadi isteri seperti apa? Jelaskanlah alasan saudara!
- Mengapa dalam ajaran Islam, Allah memerintahkan isteri Islam menaati suaminya terlebih dahulu, baru kemudian Allah?
- Mengapa lebih penting bahwa isteri menaati Allah daripada suaminya?
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Ditulis oleh: Kaleb
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke: 0812-8100-0718.
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini.
~
“Walaupun Isa seorang pria dan tidak menikah, Dia teladan yang paling baik”.
Respon: Teladan itu bukan perkataan, tapi contoh dalam perbuatan, Bung. Apa bukti Yesus adalah teladan kalau Ia omong doang tidak mencontohkan dalam perbuatan karena Ia sendiri tidak pernah menikah?!
~
Sdr. Usil,
Terimakasih untuk kesediaan Anda memberikan komentar sesuai dengan isi topik artikel.
Kami setuju dengan Anda bahwa teladan adalah contoh perbuatan nyata, bukan sekedar perkataan. Nah, bukankah kalimat lanjutan dalam artikel tsb juga menjelaskan Isa Al-Masih memberi contoh perbuatan nyata tentang ketaatan-Nya pada kehendak Allah Bapa, yakni: “… selalu mengasihi, menghormati, dan melayani orang lain. Isa bahkan “…. telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita …” (Injil, Surat 1 Yohanes 3:16)”? Bukankah tindakan kasih, penghormatan, pelayanan, dan pengorbanan, seharusnya menjadi pilar bagi kehidupan rumahtangga? Maka, ketika Isa Al-Masih telah mencontohkan itu semua dalam tindakan nyata, tentu Ia menjadi teladan sempurna bagi kita dalam berumahtangga, bukan?
~
Yuli
***
“Mengapa dalam ajaran Islam, isteri diperintahkan untuk menaati suami terlebih dahulu, baru kemudian Allah?”
Tanganggapan:
Pertanyaan di atas tidak tepat karena kewajiban yang pertama dan utama bagi seorang Muslim dan Muslimah adalah taqwa/takut/taat kepada Allah SWT. Adapun ketaatan seorang istri Muslimah kepada suaminya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah karena Allah SWT yang memerintahkan demikian.
***
Sdr. Firdaus,
Terimakasih untuk kesediaan Anda menanggapi salah satu pertanyaan fokus artikel. Kami sepakat dengan pendapat Anda bahwa hal utama adalah ketaatan kita kepada Allah, dan ketaatan isteri kepada suaminya adalah bentuk ketaatannya kepada Allah yang memerintahkan demikian. Sayangnya, hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam (disamping Al-Quran) justru tidak mendukung pendapat Anda. Berikut tiga kutipan hadits sebagaimana tercantum dalam artikel:
“Sesungguhnya (suamimu) adalah Surgamu dan nerakamu” (HR. Ahmad dan Nasa’I)
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada . . . kecuali dengan izin suaminya” [HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026]
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya . . . maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh” (HR. Shahih Bukhari 2998)
Jika benar suami penentu sorga atau nerakanya isteri, tentu [u]kewajiban utama[/u] isteri adalah menaati suaminya [u]dalam segala hal[/u], bukan? Sekalipun alasan penolakan isteri untuk berhubungan badan dengan suaminya cukup baik dan logis (misal sedang beribadah puasa, mens, sakit, atau situasi yang tidak memungkinkan), tetap terhitung sebagai “ketidaktaatan” yang mendatangkan laknat malaikat, bukan? Maka bukankah hal ini membuktikan bila keutamaan ketaatan pada suami melampaui ketaatan kepada Allah? Bagaimana, Saudaraku?
~
Yuli
~
Yang dimaksud isteri menaati suaminya adalah suami yang taat kepada Allah. Kalau taat pada suami, berarti taat kepada Allah karena hal itu perintah Allah.
~
Sdr. Sulkhan,
Terimakasih untuk kesediaan Anda bergabung dalam diskusi dengan topik yang menarik ini.
Pendapat yang Anda bagikan sangat baik. Hanya saja, kami ingin menanyakan dalil Al-Quran atau Hadits manakah yang menopang pendapat Anda bahwa:
1) Suami yang wajib ditaati istri adalah suami yang taat kepada Allah? Bagaimana dengan [u]suami yang tidak taat kepada Allah[/u]? Apakah istri boleh untuk tidak menaatinya? [u]Ayat manakah[/u] yang menyatakan hal ini? Mohon disebutkan.
2) Dengan tidak melupakan bunyi hadits-hadits yang menyerukan kewajiban ketaatan istri pada [u]suami sebagai penentu sorga – nerakanya[/u] (seperti terkutip dalam artikel di atas), apakah istri masih bisa masuk sorga bila ia menolak ajakan suami di tempat tidur sekalipun suami bukan orang yang taat pada Allah? Apakah keistimewaan suami dalam hadits-hadits tsb hanya diperuntukkan bagi suami yang menaati Allah? Bagaimana dengan suami yang tidak menaati Allah, apakah hadits-hadits tsb memberikan izin bagi istri untuk tidak menaati permintaan mereka?
Bagaimana Anda menanggapi hal ini, Saudaraku?
~
Yuli
~
Cara berpikir Anda kacau, sesat, dan menyesatkan. Seks dalam kondisi istri sedang haid itu haram, sebagaimana Al-Quran menyatakan, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid” (Qs Al-Baqarah [2]:222).
Jika perintah suami berbau hal-hal maksiat seperti menyuruh istri meninggalkan salat, membuka jilbab, membolehkan teman-teman suaminya masuk ke dalam rumahnya ketika suami tidak ada, atau memerintahkannya memutus tali silaturahim, barulah hal itu tidak perlu didengar atau dipatuhi. Sebab sabda Nabi, “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya pada hal-hal yang baik saja (ma’ruf)” (HR Bukhari dan Muslim).
~
Sdr. Risky,
Kami senang Anda bersedia bergabung di forum diskusi ini. Kiranya Anda semakin termotivasi untuk mencari dan menghidupi kebenaran sejati dari Allah.
Saudaraku, dapatkah Anda jelaskan pada bagian mana pemikiran kami kacau, sesat, dan menyesatkan?Jika landasan argumentasi Anda tentang “ketaatan istri pada suami hanya dalam hal yang ma’ruf” adalah hadits dan Qs 2:222, lalu bagaimana Anda menilai pernyataan hadits: “Sesungguhnya (suamimu) adalah Surgamu dan nerakamu” (HR. Ahmad dan Nasa’I)? Apakah ini [u]hanya berlaku bagi suami yang taat Allah[/u] agar bisa menentukan nasib akhirat isteri? Faktanya, tidak satupun pernyataan hadits ini mengindikasikannya. Bahkan dua hadits lain malah menguatkan:
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada … kecuali dengan izin suaminya” [HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026]
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya … maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh” (HR. Shahih Bukhari 2998).
Dengan meminjam argumentasi Anda (“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah”), apakah [u]ibadah puasa[/u] “memaksiati Allah” sehingga istri yang berniat melakukannya dianggap tidak halal hanya karena suami tidak mengizinkannya? Bukankah hal ini makin menguatkan konsep “suami (meski tidak taat Allah) adalah penentu sorganya istri”?
Juga, bila isteri menolak ajakan suami karena haid, mengapa pula malaikat melaknatinya? Apakah ketaatan pada suami lebih utama daripada menaati Qs 2:222?
Dengan mengingat pilar ajaran Islam ditopang oleh Al-Quran dan Hadits, sulit bagi nurani dan logika untuk menerima saat keduanya saling bertentangan dan melemahkan, bukan?
~
Yuli
~
Surat Efesus 5: 22-23
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh”
Santai saja, Admin. Dalam kutipan Injil pun ada hal seperti ini, tnggal bagaimana cara Anda berpikir. Hal ini aya rasa hanya soal sudut pandang, tidak usah merasa paling benar.
~
Sdr. Rizky,
Terimakasih untuk bantuan Anda mengutip ayat Alkitab. Hal ini justru membantu kita menemukan perbedaan yang sangat jauh antara ajaran Al-Quran dan Hadits dengan ajaran Alkitab, firman Allah. Sebagaimana ayat Alkitab dalam Surat Efesus 5:22-23 yang Anda kutip, mari perhatikan lebih dalam:
1) Siapakah “Kristus”? Bukankah “Tuhan” sebagaimana tersurat dalam ayat tsb?
2) Siapakah “jemaat Kristus”? Sesuai dengan konteks ayat tsb, suami dan istri, bukan?
3) Maka jelas “Kepala Jemaat” adalah Kristus, yaitu Tuhan, bukan?
4) Apakah tugas suami dan istri sebagai “jemaat Kristus”? Tentu saja menaati Kristus selaku Kepala, bukan?
Dari dua ayat ini nyata bahwa ketaatan jemaat (suami maupun istri) kepada Tuhan adalah nomor satu, melampaui apapun. Sebagaimana ayat tsb menyatakan Kristus sebagai “Kepala” adalah Penyelamat “tubuh-Nya” (yaitu jemaat), maka penentu sorga adalah Kristus (Tuhan), bukan suami. Nah kini, dapatkah Anda melihat perbedaannya?
~
Yuli
~
Untuk Sdr. Novi Shima,
Mohon maaf, komentar Anda tidak dapat kami terbitkan karena tidak berhubungan sama sekali dengan topik artikel. Alangkah baiknya komentar serupa Anda tuliskan pada artikel-artikel kami lainnya (misal: https://tinyurl.com/y9gq2oj7) yang berhubungan dengan apa yang Anda bahas. Maka dengan senang hati akan kami tanggapi.
Bila Anda berminat untuk bergabung dalam diskusi di artikel ini, Anda dapat memulainya dengan menanggapi tiga pertanyaan fokus yang telah kami tuliskan di atas. Dengan demikian, diskusi kita tidak akan melebar tanpa fokus sehingga dapat memberikan manfaat yang baik bagi semua pengunjung.
~
Yuli
~
Saya seorang Muslimah, dan saya ingin menjelaskan bahwa maksud dari hadis tentang suami adalah surga dan neraka bagi istri adalah tentang kewajiban seorang istri berlaku baik terhadap suaminya. Hal ini tentu kondisional dalam arti bahwa untuk seorang suami yang baik dan menyuruh kepada kebaikan, seorang istri wajib menaati. Sedangkan apabila suami melenceng dari ajaran, maka seorang istri wajib mengingatkan. Jadi maksud surga dan neraka bukan berarti kita harus 100% taat, melainkan juga menolak dan mengingatkan jika suami salah.
Dalam Islam, seorang suami juga harus menyayangi istrinya. Hal ini tertera dalam HR. Abu Daud no. 2142. Dalam Islam sendiri, hubungan pernikahan harus dilandasi toleransi sehingga diharapkan seorang suami mau mentolelir kondisi istrinya dan tidak menyusahkannya.
~
Sdr. Kath,
Terimakasih untuk kesediaan Anda bergabung dalam forum diskusi ini.
Penjelasan Anda tentang hadits “Sesungguhnya (suamimu) adalah surgamu dan nerakamu” (HR. Ahmad dan Nasa’I) sangat baik. Pertanyaan kami, jika menaati suami bersifat kondisional (bila suami baik dan memerintahkan kebaikan), apakah menurut Anda makna “surga dan neraka” dalam hadits tsb hanya figuratif, bukan balasan surga atau neraka yang sesungguhnya? Jika figuratif, tentu istri Muslim tidak perlu khawatir masuk neraka hanya karena ia menolak perintah yang tidak baik dari suami, bukan?
Juga bagaimana pendapat Anda dengan bunyi hadits: “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya … maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh” (HR. Shahih Bukhari 2998)? Apakah “laknat dari malaikat hingga subuh” juga hanya bermakna figuratif, bukan sesungguhnya? Sebab, sama seperti bunyi hadits sebelumnya yang tidak menyebutkan kondisi pengecualian (kondisional, ketaatan hanya bagi suami yang baik), hadits ini pun tidak menyebutkan pengecualian bagi alasan penolakan isteri (misal: sedang haid, sakit, atau kondisi lainnya yang tidak memungkinkan). Seandainya figuratif, untuk tujuan apa “laknat dari malaikat sampai subuh” dituliskan? Apakah hanya untuk menakut-nakuti isteri? Sebaliknya, bila bermakna harafiah, sangat aneh bila Allah Yang Maha Tahu & Maha Adil mengizinkan malaikat melaknati isteri yang menolak permintaan suaminya bukan karena ia isteri yang tidak baik, melainkan karena kondisinya tidak memungkinkan. Tidakkah demikian, Saudaraku?
~
Yuli
~
Saya bertengkar dengan istri. Dia pergi dari rumah ke tempat orangtuanya. Sudah satu minggu tidak pulang. Sudah saya bujuk namun bersikeras, bahkan mau menceraikan saya. Bagaimana solusinya?
~
Sdr. Aditya,
Silakan hubungi kami via email di alamat: . Tim kami akan melayani Anda.
~
Yuli
~
Seorang istri memang harus patuh kepada suami, itu memang benar. Tapi kalau istri memang sedang masa haid, sekalipun seorang suami mengajak untuk tidur, istri boleh menolak karena haram hukumnya. Dan malaikat pun tidak akan melaknat istri tersebut.
Anda tidak paham ajaran Islam dan hadist. Yang Anda tulis hanya beberapa hadist saja, tidak semua hadist Anda baca dan tulis tentang kepatuhan istri pada suami dan apa saja yang dilarang atau diharamkan. Seakan ajaran agama Anda lebih bagus. Agamaku untukku dan agamamu untukmu.
~
Sdr. Yayu,
Terimakasih untuk tanggapan Anda. Apa yang Anda sampaikan cukup logis bahwa isteri yang sedang haid dapat menolak ajakan suaminya. Namun, bagaimana Anda menjelaskan hal ini sehubungan dengan bunyi hadits: “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya … maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh” (HR. Shahih Bukhari 2998)? Adakah konteks dalam hadits tsb yang memberikan pengecualian (malaikat tidak melaknat isteri yang menolak ajakan suami) bagi isteri yang sedang dalam masa haid? Jika ada, dapatkah Anda tuliskan bunyinya (dalam hadits yang sama) yang menjelaskan konteks yang Anda maksud?
~
Yuli
~
Lakum dinukum waliyadin.
~
Sdr. Edul,
Terimakasih untuk kunjungan Anda.
Bagaiamana dengan isi artikel di atas menurut Anda? Adakah hal-hal yang merisaukan sehingga Anda memilih untuk tidak membahasnya lebih jauh?
Barangkali pertanyaan fokus artikel no.1 bisa memulai perbincangan kita: “Ketika saudara mencari isteri, isteri seperti apakah yang saudara cari?” Kiranya Anda bersedia merespon pertanyaan ini bila berkenan.
~
Yuli
~
Saya mau bertanya. Saya sekarang sedang bingung mau mengambil tindakan apa. Saya akan menikah satu bulan lagi. Tetapi calon istri sudah membicarakan masalah tempat tinggal dan bekerja. Saya bekerja di luar kota tempat calon istri saya dan istri saya bekerja juga di kotanya. Nah sekarang, dari keluarga calon istri saya tidak setuju dan tidak memperbolehkan calon istri untuk tinggal bersama saya. Sedangkan saya menginginkan dia tinggal bersama saya. Apa mungkin saya akan memaksa calon istri saya untuk tetap tinggal bersama saya? Apa yang harus saya lakukan?
~
Sdr. Reddy,
Untuk masalah Anda, silakan hubungi kami via email ke: . Tim kami akan melayani Anda. Terimakasih.
~
Yuli
~
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau” (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan Hasan oleh Syaikh al-Albany).
Jangan-jangan, Admin tidak tahu hadits ini, ya? Yang dibahas hanya seputar hadits-hadits di atas. Dalam Islam, yang menentukan hukum hanyapara ulama yang menguasai/hapal/paham Al-Quran dan hadits yang jumlahnya ribuan, bukan satu dua hadits hasil googling. Kalau hanya tahu Islam setengah-setengah, jangan ambil penilaian/kesimpulan serampangan yang menyesatkan. Urus agama masing-masing saja. Lakum diinukum waliyaddin. Terimakasih.
~
Sdr. Abdullah,
Anda berpendapat: “Dalam Islam, yang menentukan hukum hanya para ulama yang menguasai/hapal/paham Al-Quran dan hadits yang jumlahnya ribuan …”. Maka pertanyaan kami, apakah Islam buatan manusia sehingga hukum-hukumnya dibuat oleh para ulama, bukan Allah sendiri? Ketika manusia yang membuatnya, tentu tidak mungkin sempurna karena pada hakikatnya manusia terbatas, bukan? Apalagi tidak satu manusia pun (termasuk nabi dan ulama) steril dari dosa. Pasti yang dihasilkannya jauh dari kesempurnaan sebagaimana Allah kehendaki. Tiga hadits dalam artikel menjadi contohnya. Sungguhkah Allah mengganjar surga/neraka bagi istri dengan cara memuaskan keinginan suami? Apakah suami adalah “allahnya” istri sehingga harus diutamakan, bahkan melebihi ketundukannya terhadap Allah?
Saudaraku, mari pertimbangkan dengan serius. Dengan hadits HR Ahmad yang Anda kutip, seandainya benar para wanita yang “… menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya …” pasti masuk surga, mengapa banyak wanita Muslim yang sudah memenuhi kriteria tsb masih ragu dengan kepastian nasib akhiratnya? Bagaimana juga dengan Anda, masihkah ragu, hanya bisa mengatakan “mudah-mudahan”, bukan? Mengapa? Seandainya yang dikatakan hadits tsb benar-benar berasal dari Allah Sang Pemilik sorga, seharusnya tidak ada alasan bagi umat Muslim meragukan janji-Nya, bukan?
~
Yuli
~
Silakan Anda tanya apapun tentang Islam dengan para ulama. Langsung saja tatap muka di manapun Anda suka. Dengan kehendak Allah SWT, Tuhan dari Nabi Isa Alaihissalam dan Muhammad SAW.
Diskusi dengan cara seperti ini tidak baik. Lebih cantik kalau bertemu dan diskusi dengan ulama langsung.
~
Sdr. Aries Fachrudin,
Terimakasih untuk kunjungan dan komentar Anda.
Apa yang Anda sampaikan membuat kami bertanya: “Apakah beragama hanya dilakukan oleh para ulama sehingga orang awam tidak mau, atau bahkan tidak boleh mendiskusikannya?” Jika demikian, apakah orang awam tidak beragama? Atau, beragama tapi tidak tahu apa yang diimaninya? Lalu, iman semacam apa yang didengung-dengungkan selama ini? Padahal, bukankah beragama berkaitan erat dengan kehidupan masing-masing orang terhadap Allah? Sehingga di Hari Penghakiman kelak, setiap orang dituntut mempertanggungjawabkan imannya kepada Allah, bukan? Lalu, apakah saat Allah menghakiminya, orang awam dapat berkata, “Allah, silakan tanya apapun tentang iman saya kepada para ulama!”, sungguh mustahil, bukan?
Mari, pertimbangkan hal ini dengan cermat. Sebab iman yang kita pilih menentukan ke mana kita menghabiskan waktu kekekalan kita di akhirat. Apakah bahagia selamanya bersama Allah Sang Khalik, atau terpisah selamanya dari-Nya dalam penderitaan kekal?
~
Yuli
~
Bagaimana menghalalkan seorang wanita yang secara hukum masih berstatus isteri orang? Juga, pada saat saya menikahinya, dia mengatakan anak yatim piatu yang tidak punya wali sebelumnya. Terimakasih.
~
Sdr. Ronny,
Mari pikirkan baik-baik. Apakah menikahi isteri orang bisa digolongkan tindakan halal? Sedangkan kita paham benar bahwa tindakan para koruptor yang menikmati kekayaan dari uang negara sebagai tindakan haram! Maka, tidakkah mengambil isteri orang lain sama-sama tindakan haram?
Silakan baca dua artikel berikut untuk penjelasan lebih lanjut: https://tinyurl.com/ybhcpor3 dan https://tinyurl.com/y9cafld7.
~
Yuli
~
Maaf sebelumnya, apakah Anda menikah?
~
Sdr. Sid,
Terimakasih untuk kunjungan Anda di artikel ini. Tentang pertanyaan Anda, kepada siapa Anda tujukan pertanyaan tsb?
Saudaraku, mari tetap kita fokuskan diskusi pada topik bahasan artikel. Apakah Anda sepakat bila seorang isteri wajib menaati suaminya? Juga, lebih utama mana bagi seorang isteri: menaati suami atau menaati Allah? Mengapa? Kiranya Anda bersedia menanggapi hal ini.
~
Yuli
~
Bagi saya sederhana saja. Maksud dari hadits-hadits di atas adalah: untuk mendapatkan sorga, ‘Allah memerintahkan’ para istri untuk mematuhi suaminya (dengan syarat tertentu). Berarti urutannya:
1. Mematuhi perintah Allah
2. Mematuhi suami
Sama dengan “surga berada di telapak kaki ibu”. Tidak berarti mendahulukan ibu sebelum Allah, tapi kepatuhan dan penghormatan kita pada ibu adalah karena mentaati perintah Allah.
~
Sdr. Mariachi,
Terimakasih untuk kesediaan Anda memberikan tanggapan. Anda memahami maksud hadits tentang ketaatan istri terhadap suami sebagai cara isteri mendapatkan sorga. Pertanyaannya, ketaatan semacam apa yang hadits-hadits tsb ajarkan? Tentu kita harus benar-benar cermat mengkaji isinya, bukan? Mari simak ulang:
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada … kecuali dengan izin suaminya” [HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026]
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya … maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh” (HR. Shahih Bukhari 2998).
Apakah berpuasa dalam hubungannya dengan ibadah kepada Allah tidak lebih penting daripada melayani nafsu suami? Apakah menolak ajakan suami di tempat tidur untuk alasan yang masuk akal sekalipun (misal haid, sakit, kondisi yang tidak memungkinkan lainnya), terhitung tindakan terlaknat? Maka, bukankah isi hadits-hadits tsb malah menitikberatkan ketaatan istri pada suami di atas ketaatannya kepada Allah? Jadi, siapa sebenarnya penentu surga bagi istri: Allah atau suami? Bagaimana Anda mencermati hal ini, Saudaraku?
~
Yuli
~
Kalian mau apa mempertentangkan agama, pekerjaan sia-sia. Sampai kapan pun non-Muslim pasti akan menjelekan Islam. Tapi kalian tidak akan jaya.
~
Sdr. Jaymo,
Sebagaimana sudah kami sampaikan kepada Sdr. Aries Facrudin di atas, iman yang kita pilih menentukan ke mana kita menjalani kekekalan di akhirat kelak, apakah bahagia selamanya bersama Allah, atau terpisah dari-Nya dalam penderitaan kekal. Itu sebabnya setiap orang perlu menelaah dengan cermat ajaran yang dianutnya, sungguhkah berasal dari Allah yang Mahabenar?
Saudaraku, bagaimana dengan Anda? Sudahkah hal ini Anda kerjakan? Artikel di atas mengupas salah satu contoh dari ajaran hadits yang menekankan ketaatan kepada suami sebagai kunci sorga bagi istri. Bagaimana Anda menelaah isi ketaatan yang dituliskan dalam hadits-hadits tsb? Apakah mewakili sifat kemahaadilan serta kebijaksanaan Allah? Sungguhkah Allah yang menghendakinya? Atau pihak lain yang mengatasnamakan perintah Allah?
~
Yuli
~
Mungkin yang dimaksud puasa sunnah dan menolak hubungan suami istri pada saat dalam keadaan suci atau tidak haid.
Bukankah puasa Ramadhan wajib hukumnya? Semua warga Muslim juga tahu. Mana ada suami yang melaran, nihil sepertinya. Jika waktu haid berhubungan akan dilaknat oleh Allah, jadi mana ada suami yang mau melakukannya? Bahkan saat haid pun, wanita diharamkan sholat.
~
Sdr. Gadis Desa,
Terimakasih untuk komentar Anda. Anda mengatakan “mungkin“. Nah, dapatkah Anda tunjukkan pada kalimat mana dalam hadits-hadits di atas yang mengindikasikan alasan-alasan pengecualian sebagaimana Anda maksud?
Juga, mari pertimbangkan ulang. Apakah wanita yang menurut syariat Islam dibolehkan berpuasa (karena tidak sedang haid), oleh panggilan hatinya ingin menunaikan ibadah puasa sunnah, tapi tiba-tiba dianggap berdosa dan dilaknat malaikat hanya karena suami melarangnya sebab ingin berhubungan badan dengan sang istri (sesuatu yang tidak bisa dilakukan saat berpuasa)? Tidakkah ini sangat ganjil? Mungkinkah pemuasan nafsu suami harus lebih diutamakan daripada ibadah kepada Allah? Siapa yang membuat perintah ini? Mustahil jika Allah rela dinomorduakan, bahkan dikalahkan oleh pemuasan nafsu pria. Bagaimana, Saudaraku?
~
Yuli
~
Begini saudaraku. Tanggungjawab seorang suami atas istrinya sangatlah berat karena nantinya para suami akan mempertanggun jawabkan bimbingan atas istrinya di akhirat kelak. Maka dari itulah sang istri harus menurut pada suaminya.
Istri yang berbuat baik mendapat pahala. Kalau berbuat tidak baik, dosanya ditanggung pula oleh suaminya. Suami wajib memberi nafkah pada istri, tapi istri tidak.
Di akhirat kelak, seorang lelaki akan mempertanggungjawabkan empat wanita ini:
1) Istrinya
2) Ibunya
3) Anak perempuannya
4) Saudara perempuannya.
~
Sdr. Gadis Desa,
Terimakasih untuk kesediaan Anda meneruskan diskusi. Kami senang dapat membicarakannya dengan Anda.
Mengenai konsep suami menanggung dosa isteri, ibu, anak perempuan, dan saudara perempuannya, dapatkah Anda berikan sumbernya? Diambil dari manakah konsep tersebut? Anehnya, mengapa ayat-ayat Al-Quran seperti Qs 6:164, Qs 17:15, Qs 35:18, dan Qs 39:7 malah menekankan “orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain?” Mari perhatikan:
“Dan orang-orang yang berdosa, tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya, memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya …” (Qs 35:18).
Dengan demikian, bukankah Al-Quran jelas menentang konsep tsb? Bagaimana Anda menjelaskan hal ini?
Juga, bagaimana pula hadits-hadits tentang ketaatan mutlak istri terhadap suami dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya ketika alasan “tanggungjawab suami terhadap istri sangat berat karena memikul dosa istri” justru bertentangan dengan ajaran Al-Quran sendiri?
~
Yuli
~
Sudah, jangan ditanggapi. Namanya juga orang yang tiak paham syariat Islam, tapi berlagak mengomentari Islam. Sebenarnya orang seperti ini sedang meghina dirinya sendiri karena seperti orang yang tidak ada pekerjaan. Atau jangan-jangan memang pekerjaannya mengomentari syariat Islam. Jadi kalau tidak melakukannya sehari saja, anak isterinya tidak bisa makan atau membayar sekolah.
~
Sdr. Mulyanah,
Nampaknya Anda sangat memahami syariat Islam. Untuk itu, dapatkah Anda membantu Sdr. Gadis Desa untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan kritis kami di atas?
Amat disayangkan bila kita sekedar mengimani suatu ajaran tanpa sungguh-sungguh menelaah kebenarannya. Sebab bukankah yang menjadi taruhannya adalah nasib akhirat kita sendiri? Apakah kita sudah tahu dengan pasti bila kita sedang berjalan di jalan Allah? Jika benar “jalan Allah”, mengapa tidak ada saling kesesuaian diantara ajarannya?
Saudaraku, mari arahkan diri pada hal yang terpenting yaitu nasib kekal Anda kelak. Jangan sekedar berfokus pada pemenuhan kebutuhan jasmaniah seperti makan atau biaya sekolah. Hal itu penting tapi bukan yang utama. Bukankah begitu? Maka bila keyakinan dan ketaatan syariat hanya ditujukan agar dilimpahi berkah namun tidak menelaah sungguhkah berasal dari Allah, bukankah kita sedang menyia-nyiakaan sisa waktu hidup kita?
~
Yuli