Seorang ibu Muslim mengeluh “Suamiku hanya mencari nafkah. Dia tidak mau membuat kopi sendiri. Makan, minum dia selalu minta dilayani” Ibu itu harus mengerjakan semua tugas rumah tangga. Bolehkah suami Muslim dan Kristen melayani isterinya? Adakah ajaran suami isteri Muslim saling melayani? Memahami tulisan ini kita dapat melayani isteri dengan baik.
Manfaat Suami Melayani Isteri
Suami senang jika dilayani isterinya. Begitu juga isteri bahagia jika suami melayaninya. Hanya mau dilayani adalah sikap egois/menang sendiri. Sikap saling melayani menciptakan kebahagiaan rumah tangga. Suami dapat melayani isteri dengan meringankan pekerjaannya. Seperti: Mencuci pakaian, mengurus anak, menyiapkan makan dan sebagainya.
Pasangan yang saling melayani membuat keluarga harmonis dan mempererat kasih mereka. Juga menjadi teladan baik bagi anak-anak mereka. Adakah kebahagiaan jika hanya salah satu pasangan yang melayani?
Ajaran Islam Tentang Suami Melayani Isteri
Sayang sekali, Al-Quran dan hadis tidak jelas tentang ajaran suami isteri Muslim saling melayani. Yang ada hanyalah hadis kesaksian Aisyah tentang Muhammad. Katanya “Beliau menjahit bajunya sendiri, menambal terompahnya dan mengerjakan apa yang umumnya dilakukan oleh para suami di rumahnya.”
Untuk menutupi kekurangan itu, sebuah situs Islam memakai ajaran suami menafkahi isteri (Qs 4:34) sebagai dasarnya. Bahwa nafkah suami adalah makanan yang “. . . siap untuk dikonsumsi . . . Maka . . . memasak, menyapu, dan membersihkan rumah adalah kewajiban seorang suami!”
Pendapat Para Ulama Islam Soal Suami Melayani Isteri
Mazhab/aliran Al Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanabilah, dan Az Zhairi berpendapat bahwa isteri tidak wajib melakukan tugas rumah tangga. Abdul Halim Abu Syuqqoh mengajarkan bahwa suami Muslim bisa melayani isterinya. Misalnya, menyiapkan makan, mencuci, menyetrika membersihkan rumah dan sebagainya. Jika isteri menginginkan pelayanan seksual, Ibnu Qudamah menyarankan suami harus memenuhi keinginan isterinya itu.
Sebaliknya, Syekh Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa tugas suami membereskan rumah tersebut diserahkan pada isteri. Itu sebagai timbal balik atas nafkah suaminya.
Teladan Isa Al-Masih dan Pelayanan Suami Kepada Isteri
Firman Allah mengajarkan “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya . . .” (Injil, Surat Efesus 5:25). Pengorbanan Isa Al-Masih di kayu salib guna menyelamatkan manusia merupakan dasar dan teladan agung bagi para suami Kristen untuk berkorban bagi isterinya.
Maka para suami Kristen wajib, bukan saja melayani, terlebih mengorbankan dirinya bagi isterinya. Berkorban bagi isteri dapat diwujudkan dengan melayaninya dalam hal jasmani, emosi dan rohani.
Ajaran-Nya Membuktikan Hakekat-Nya
Meskipun tidak menikah, mengapa Isa Al-Masih dapat memberikan ajaran yang sempurna soal suami melayani isteri? Karena Dialah Kalimat Allah. Marilah meneladani-Nya supaya keluarga kita bahagia.
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Mengapa sikap suami melayani isteri penting dalam hidup rumah tangga?
- Mengapa Al-Quran dan Hadis tidak jelas mengajarkan tentang suami melayani isteri?
- Manakah yang layak dijadikan pedoman hidup rumah tangga, Al-Quran dan Hadis yang tidak mengajarkan suami melayani isteri, ataukah Isa Al-Masih yang mengajarkannya? Mengapa?
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke: 0812-8100-0718.
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini.
~
Tidak salahkah judul artikel ini?
Bagaimana Yesus bisa dijadikan teladan dalam rumahtangga, sedangkan Yesus tidak pernah menikah.
~
Sdr. Luki,
Mari berlogika dengan sehat. Pertanyaan Anda serupa dengan pertanyaan berikut: “Bagaimana mungkin kita percaya ajaran ulama bahwa sorga dan neraka itu ada sedangkan ulama tsb belum mengalaminya sendiri?” Apakah kita bisa langsung menuduhnya salah? Tidak, bukan?
Demikian juga Yesus. Apakah karena Yesus tidak mengalami pernikahan, Ia tidak bisa menjadi teladan bagi kehidupan rumahtangga? Bisa, bukan? Bukankah Anda sendiri tidak akan meremehkan nasihat ustadz tentang pernikahan meskipun ia masih lajang?
Lebih dari itu semua, Anda perlu paham siapa Yesus. Yesus layak menjadi teladan utama kehidupan berumahtangga karena dasar dari perkawinan adalah [u]”kasih yang berkorban”[/u]. Tanpa itu semua, kehidupan rumahtangga tidak akan harmonis karena setiap orang lebih mementingkan diri sendiri. Yesus membuktikan keteladanan kasih-Nya lewat pengorbanan kematian-Nya di kayu salib demi menyelamatkan manusia dari kebinasaan kekal akibat dosa. Itulah sebabnya kitab suci Allah menuliskan:
“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya…” (Injil, Surat Efesus 5:25).
~
Yuli
~
“Pengorbanan Isa Al-Masih di kayu salib guna menyelamatkan manusia merupakan dasar dan teladan agung bagi para suami Kristen untuk berkorban bagi isterinya.”
Apa hubungannya? Berarti suami harus mengorbankan nyawanya bagi sang istri. Memang harus kaum Hawa (istri) menghormati kaum Adam (suami). Soalnya sang suami sudah lelah bekerja siang malam mencari uang sampai stress, Istrinya hanya kerja di rumah, tidak berlelah-lelah, pergi kemana-mana. Istri bertugas melayani suami dan pemuas jasmani dan rohani sang suami, sehingga pikiran suami semula yang kusut karena derita hidup, menjadi hilang karena ada sang Istri yang melayaninya dan memberi support kepada sang suami. Suami bisa berpikir lebih jernih dalam mengarungi kehidupan bersama istri dan anak anaknya.
~
Sdr. Tobat,
Komentar Anda adalah suara sebagian kaum lelaki di muka bumi. Sayangnya, pikiran ini hanyalah hasrat sepihak tanpa didasarkan kondisi riil.
Jika Anda sudah berumahtangga, mari sejenak praktikkan hal sederhana ini, satu hari saja berganti peran. Suami bertukar peran sebagai istri, demikian pula sebaliknya. Dalam sehari tsb, kerjakanlah semua tugas rumahtangga istri Anda termasuk mengasuh anak. Bagamana? Anda dilarang mengeluh, apalagi stress dengan pernik kesibukan yang melelahkan selama 24 jam penuh tanpa henti. Sanggup? Jika sedikit saja Anda mengeluh, komentar Anda di atas tidak layak dilotarkan.
Intinya, meskipun peran yang dijalankan suami dan istri berbeda, kualitas bebannya sama! Untuk itu, baik suami maupun istri harus saling rela berkorban demi keharmonisan rumah tangga. Kasih pengorbanan inilah yang menjadi dasar hidup berumahtangga. Bukankah Isa Al-Masih telah meneladankannya dengan rela berkorban mati demi menyelamatkan umat-Nya dari kebinasaan kekal akibat dosa?
~
Yuli
~
Untuk Sdr. Zakir Naik,
Karena komentar Anda tidak berhubungan dengan topik artikel, moho maaf kami harus menghapusnya. Untuk tanda ketuhanan Yesus seperti yang Anda tanyakan, silakan baca artikel berikut untuk mendapatkan jawaban rincinya: http://tinyurl.com/hgmhqha.
~
Yuli
~
Yth mbak Yuli dan Staf IDI,
Sebelumnya mohon maaf. Tertarik dengan keluarga contoh pada prolog artikel di atas, saya punya saudara (putri paman) yang sudah berkeluarga.
Menurut amatan saya, mereka keluarga yang sangat taat mengikuti kebaktian. Suaminya sangat setia. Terbukti jika terjadi salah paham dengan orang lain, dia bela istrinya mati-matian. Juga sekaligus sangat berkuasa, ringan kaki-ringan tangan kepada istrinya. Pendek kata, bad or wrong is my wife and the first man is mine.
Meskipun berpenghasilan, penopang ekonomi keluarga adalah istri dan mertua putri (janda).
Mohon dibantu:
1. Menurut Injil, apa yang salah pada keluarga mereka?
2. Apa yang bisa kami lakukan, agar tidak dikira ikut campur tangan.
Terima kasih.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Mohon maaf Saudaraku, berhubung ada istilah yang bermakna ambigu, dapatkah Anda perjelas makna dari “ringan tangan”? Dalam bahasa Indonesia, “ringan tangan” memiliki dua makna yang sangat berbeda yakni “suka menolong” atau “suka memukul”. Jika dikaitkan dengan kalimat Anda sebelumnya “… sangat berkuasa…”, apakah “ringan tangan” yang Anda maksudkan adalah “suka memukul”? Namun jika maksudnya benar demikian, agaknya berlawanan dengan sikap yang Anda tuturkan sebelumnya yakni “… dia bela istrinya mati-matian”.
Mohon hal ini dapat Anda klarifikasikan lebih dahulu.
Terimakasih.
~
Yuli
~
Betul. Maksud saya, untuk urusan yang berkait dengan luar rumah, bad or wrong is my wife. Tetapi jika urusan intern rumahtangganya, dia pantang kecewa. Benda yang di dekat tangannya hampir dipastikan melayang jika sedang tidak berkenan.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Terimakasih untuk konfirmasinya.
Dengan membaca ajaran kasih Isa Al-Masih dalam hidup berumahtangga, tentu kasus yang Anda ceritakan di atas jelas tidak menerapkan ajaran Isa Al-Masih, meskipun sang pelaku rajin ibadah. Seorang pengikut Yesus sejati mengalami perubahan internal di dalam dirinya yang nyata bisa dirasakan manfaatnya bagi orang-orang di sekitarnya.
Dengan senang hati kami dapat menjadi rekan diskusi Anda berkait dengan kasus yang Anda ajukan. Agar lebih leluasa dan dapat dibahas secara mendalam, kami persilakan Anda menghubungi kami via email ke , bila Anda berkenan. Terimakasih.
~
Yuli
~
Untuk Sdr. Johan Bagaskara,
Mohon maaf, pertanyaan Anda kami hapus karena tidak sesuai topik artikel. Bila Anda ingin berpartisipasi dalam diskusi di artikel ini, silakan bahas lebih lanjut tiga pertanyaan fokus di bagian bawah artikel.
Terimakasih.
~
Yuli
~
Mbak Yuli yth.,
Terimakasih atas jawabannya. Jika tidak keliru mencerna, dapat saya simpulkan:
1 Menurut Anda, saudara ipar saya tidak salah, tapi hanya tidak menerapkan ajaran Yesus. Lebih konkrit lagi, pada ayat mana saja hal itu dinilai melanggar?
2 Menurut Anda, “… pengikut Yesus sejati …”, rasa-rasanya komentar itu masih abstrak dan filosofis. Konkritnya?
3. Bukankah setiap suami punya gaya sendiri dalam mengasihi isteri?
Terima kasih.
~
Sdr. Merry Mariyah,
1. Yesus adalah Tuhan Sang Sumber Kebenaran. Maka setiap perintah-Nya adalah kebenaran mutlak. Setiap orang yang tidak menuruti perintah Yesus tidak hidup dalam kebenaran. Nah, menurut Anda, jika orang tidak hidup dalam kebenaran, dapatkah ia disebut orang yang tidak bersalah?
2. Kategori “pengikut Yesus sejati” sbb:
– Menyadari dan menyesali keberdosaannya serta ketidakmampuannya lepas dari dosa.
– Menerima Yesus sebagai Juruselamatnya.
– Menyerahkan hidup termasuk egonya kepada Yesus yang diwujudkan dengan kecintaan dan ketundukannya pada setiap perintah Yesus. Secara berproses mengubah dirinya sekarakter dengan Yesus yang disembahnya sehingga efek positif pasti dirasakan orang-orang di sekitarnya.
Jadi, ritual ibadah lahiriah sama sekali bukan tolok ukur menilai sejati tidaknya pengikut Yesus. Konkritya, rajin kebaktian tidak bisa membohongi karakter asli seseorang.
3. Jika “… setiap suami punya gaya sendiri dalam mengasihi isteri” menjadi patokan penilaian, Anda keliru karena setiap orang bisa mendefinisikan kasih sekehendak hatinya. Acuan definisi “kasih” harus dari Allah. Bukankah sudah kami sarankan sebelumnya agar Anda membaca Surat 1 Korintus 13:4-7 yang berisi tindakan konkrit dari kasih? Bacalah dengan sungguh supaya Anda mengenal siapa Yesus Sang Sumber dan Teladan Kasih, dan bagaimana kasih-Nya dapat memulihkan hidup Anda.
~
Yuli
~
Yth Mbak Yuli,
Terima kasih. Sekarang baru jelas jika mbak Yuli gemar dann mudah memvonis orang lain salah (jika tidak sesuai dengan apa yang sedang Anda pikirkan) dengan berlindung pada kitab suci. Dalam kasus itu, Alkitabpun tidak mampu menyalahkan dia, karena tidak ada ayat yang tegas melarang apa yang dia lakukan, atau setidaknya membatasi.
Mengapa mbak Yuli tidak memberi nasihat agar istri tidak mengecewakan suaminya, dengan mengutipkan beberapa ayat yang relevan? Bukankah suami kepala istri? (Ef 5:23).
Terima kasih.
~
Sdr. Merry Mariyah,
Menurut Anda, standard apakah yang tertinggi dalam hidup Anda? firman Allah, bukan? Siapapun kita, (termasuk saya sendiri), jika standard yang kita gunakan bertentangan dengan firman Allah, maka kita tidak bisa memandang diri benar. Allah adalah sumber kebenaran. Maka jika kita ingin disebut benar di hadapan Allah, kita harus menggunakan standard firman Allah dalam melakukan segala sesuatu.
Saudaraku, memang dikatakan dalam Surat Efesus 5:23 bahwa suami adalah kepala istri. tapi Anda juga perlu meneruskan bacaan ayat yang sama, bahwa Kristus adalah kepala jemaat. Nah, apakah suami bukan anggota jemaat dalam bacaan tsb? Maka, istilah “suami adalah kepala istri” tidak bisa diartikan sekehendak hati karena baik suami maupun istri sebagai anggota Jemaat Kristus, harus tunduk kepada ketetapan Kristus sebagai Kepala Jemaat. itulah sebabnya baik suami maupun istri harus hidup saling mengasihi dalam kehidupan rumahtangganya.
~
Yuli
~
Maaf, saya rasa Anda perlu meperbaiki kalimat ini: “Al-Quran dan hadis tidak jelas tentang ajaran suami isteri Muslim saling melayani”. Lebih baik Anda tidak setuju. Al-Quran itu mujizat dari Allah yang tidak boleh diragukan bagi kami kaum Muslim. Kalau Anda tidak setuju, cukup katakan tidak setuju.
Sedangkan Injil diperbarui oleh manusia.
Cobalah netral, dan carilah kebenaran agamamu menurutmu. Jangan merendahkan agama lain.
~
Sdr. Nurul,
Seandainya benar bila Injil diperbarui oleh manusia (seperti asumsi Anda), mengapa ajaran Injil tentang keharmonisan rumah tangga sebagaimana kita bahas dalam artikel, lebih luhur daripada Al-Quran yang Anda yakini mujizat dari Allah? Apakah buatan Allah kalah dengan buatan manusia? Mustahil, bukan? Maka justru dari sini dapat kita pertimbangkan, manakah kitab sejati dari Allah: Al-Quran, atau Injil?
Dan lagi, bukankah Al-Quran sendiri mengakui Injil adalah kitab Allah yang menjadi petunjuk bagi orang bertakwa (Qs 5:46)? Maka, mungkinkah Allah yang Maha Kuasa tidak berdaya menjaga keaslian kitab-Nya (Injil) dari keusilan tangan manusia? Jika ini sungguh terjadi, Allah tidak lagi bisa disebut Maha Kuasa, bukan? Mari berhati-hati melempar tuduhan, sebab tuduhan tsb tidak satupun bukti yang mendukungnya, apalagi yang dituduhkan menyangkut Allah dengan kemahakuasaan-Nya.
~
Yuli
~
Untuk Sdr. Anonim,
Mohon maaf, laman-laman artikel yang Anda bagikan tidak dapat kami terbitkan karena para pengunjung forum diskusi ini tidak diperkenankan membagikan link artikel di luar situs-situs yang kami kelola.
Jika Anda merasa isi laman-laman artikel yang Anda bagikan berhubungan dengan isi artikel di atas, kami sarankan agar Anda bersedia menuliskan intisarinya sehingga kita dapat mendiskusikannya lebih lanjut.
Terimakasih, kami tunggu.
~
Yuli
~
Saudara Nurul,
Anda mengatakan, “Sedangkan Injil diperbarui oleh manusia”. Bukankah hal ini membuktikanAnda tidak mempercayai kemahakuasaan Allah dalam menjaga firman-Nya? Mengapa Anda menghina Allah dan mengganggap Dia tidak berdaya menyaksikan firman-Nya diubah manusia lemah dan hina? Ironis sekali iman Anda.
~
Sdr. Abraham Manaha,
Tanggapan yang Anda sampaikan mengenai komentar Sdr. Nurul cukup logis. Seharusnya hal ini menjadi pertimbangan bagi rekan-rekan yang berasumsi bila isi Injil telah diperbarui manusia. Sebab, ketika rekan-rekan Muslim menuduh Injil tidak lagi asli padahal Qs 5:46 jelas mengimani Injil berasal dari Allah, otomatis rekan-rekan Muslim sedang menuduh Allah tidak berdaya menjaga keaslian firman-Nya dari tangan-tangan manusia lemah dan hina, bukan? Tentu hal ini sangat ironis dengan pengakuan iman yang menyatakan Allah Maha Kuasa.
~
Yuli
~
Anda tidak paham Islam. Pengetahuan anda hanya sedikit tentang ini. Saya bersedia menjelaskan jika anda memang bermaksud berdiskusi.
~
Sdr. Eka Maizuhardi,
Terimakasih untuk kunjungan Anda. Silakan Anda sampaikan pendapat mengenai topik artikel di atas. Bagaimana Islam mengajarkan kehidupan berumahtangga? Bagaimana kedudukan suami terhadap isterinya? Apakah dengan kedudukan tsb mendorong sikap suami untuk melayani isterinya? Kiranya Anda berkenan menjelaskan.
~
Yuli