Kakek dan nenek saya sudah menikah selama 61 tahun. Ada pasangan yang pernah menikah selama 90 tahun. 90 tahun! Itu luar biasa, bukan?
Ketika mencari jodoh, kita menginginkan pasangan yang setia. Demikian juga hendaknya kita menjadi orang yang setia. Bagaimana kita bisa setia? Kita dapat belajar dari teladan yang baik!
Teladan Kesetiaan Wanita Yang Baik
Ada satu kisah dalam Alkitab tentang seorang wanita yang sangat setia, yaitu Rut. Rut adalah menantu Naomi. Setelah suaminya meninggal, Naomi menasehati Rut agar kembali ke rumah orang tuanya dan menikah lagi.
Namun Rut berkata, “. . . sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku . . . di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan” (Kitab Rut 1:16-17).
Rut bekerja di ladang milik Boas (keluarga suami Naomi). Boas sangat mengasihi Rut karena kesetiaannya.
“Boas menjawab: ‘Telah dikabarkan orang kepadaku dengan lengkap segala sesuatu yang engkau lakukan kepada mertuamu sesudah suamimu mati, dan bagaimana engkau meninggalkan ibu bapamu dan tanah kelahiranmu serta pergi kepada suatu bangsa yang dahulu tidak engkau kenal’” (Kitab Rut 2:11).
Kemudian Boas menikah dengan Rut. Segala kebutuhan Rut dan Naomi disediakan. Semua karena kesetiaan Rut kepada Naomi dan Allah. Rut adalah wanita yang sungguh-sungguh setia.
Apakah Nabi Islam Setia Dalam Pernikahannya?
Umumnya umat Islam percaya bahwa Nabi Islam sangat setia. Memang, Nabi Islam tidak pernah bercerai dengan istrinya. Tapi, apakah seseorang dapat benar-benar setia bila mempunyai isteri lebih dari satu?
Ibnu Katsir, Al-Tabari, Al-Qurthubi, dan Ar-Razi setuju bahwa Qs 4:128 menyinggung ketika Saudah (salah satu isterinya), takut Nabi Islam akan menceraikannya. Nabi Islam ingin bercerai dengan Saudah karena dia sudah tua. Tapi Saudah tidak ingin diceraikan. “. . . ketika Saudah binti Zum’ah mulai tua, Rasulullah berkehendak menceraikannya . . .” (Tafsir Ibnu Katsir, 421).
Jika Anda tidak setuju tentang kesetiaan Nabi Islam, silakan mengenail kami.
Teladan Kesetiaan Yang Paling Baik – Isa Al-Masih
Walaupun Isa Al-Masih tidak pernah menikah, Dia teladan kesetiaan yang paling baik. Pertama, Isa tidak pernah berdosa, jadi Dia selalu menepati semua janji-Nya.
Kedua, Isa selalu setia kepada orang yang percaya kepada-Nya. Isa berkata, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-domba-Nya [pengikut-Nya]” (Injil, Rasul Besar Yohanes 10:11). Ia setia sampai mati tersalib bagi mereka. Itulah sebabnya Isa dapat berjanji bahwa Ia “. . . memberikan hidup yang kekal kepada mereka [orang yang percaya kepada-Nya] dan mereka pasti tidak akan binasa . . .” (Injil, Rasul Besar Yohanes 10:28).
Bila Anda ingin belajar tentang kesetiaan Isa dan jaminan sorga, silakan mengemail kami.
[Staf Isa dan Islam – Untuk masukan atau pertanyaan mengenai artikel ini, silakan mengirim email kepada Staff Isa dan Islam.]
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Menurut saudara, mengapa kita semua sebaiknya menjadi orang yang setia? Bagaimana agar kita bisa menjadi lebih setia?
- Apakah saudara pernah mendengar kisah tentang Rut? Bagaimana pendapat saudara tentang kisah ini?
- Menurut saudara, teladan kesetiaan yang lebih baik adalah siapa – Nabi Islam atau Isa Al-Masih? Jelaskan!
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Ditulis oleh: Kaleb
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel “Hai Mukmin: Bacalah Kisah Nyata Tentang Wanita Yang Setia”, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke: 0812-8100-0718.
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini.
*****
1. Menjadi orang yang setia, tentu saja kita akan disukai dan disayangi semua orang. Kita tidak menghendaki pasangan kita selingkuh. Demikian juga kita juga perlu belajar untuk setia. salah satu dari buah Roh adalah kesetiaan.
2. Rut adalah menantu yang setia. Sekalipun suaminya telah meninggal, ia tidak mau meninggalkan ibu mertuanya. Rut juga tetap mengikuti Naomi pulang kampung. Saya benar-benar terharu melihat kesetiaan seorang Rut.
3. Yang patut diteladani hanyalah Yesus. Saya tidak bisa menghormati Muhammad karena beliau mempunyai sembilan isteri dan satu anak kecil 9 tahun yang menjadi isterinya.
*****
Sdr. Indra,
Terimakasih untuk kunjungan Anda pada artikel di atas. Kami sangat menghargai kesediaan Anda menanggapi tiga pertanyaan fokus artikel.
Apa yang Anda sampaikan benar. Kesetiaan adalah salah satu buah dari karya Roh Kudus, yang tiada lain adalah Allah itu sendiri. Karena Pribadi Allah itu setia, maka kesetiaanlah yang nampak pada sikap seseorang yang hatinya bersedia dituntun Allah Roh Kudus.
Rut adalah teladan yang baik tentang kesetiaan. Kesetiaannya pada Naomi mertuanya didorong oleh kasih yang ia terima dari Allah. Sebelumnya, Naomi telah memperkenalkan Allah yang ia sembah kepada Rut yang berasal dari Moab (bangsa yang tidak mengenal Allah). Atas pengenalannya akan Allah sejati yang setia dan penuh kasih, Rut meneruskan kasih Allah kepada Naomi dengan berlaku setia kepadanya.
Ribuan tahun pasca kisah Rut, Allah yang setia sungguh menepati janji keselamatan-Nya dengan kehadiran-Nya ke dunia (lewat garis keturunan Rut dan Boas [Injil Matius 1:5]) menjadi Juruselamat kita, orang-orang berdosa. Dialah Isa Al-Masih (Yesus Kristus) yang meneladankan kesetiaan tertinggi hingga mengorbankan nyawa-Nya demi menyelamatkan kita.
~
Yuli
~
Sejak semula telah dijanjikan akan datang seorang Mesias ke dunia yang mengambil rupa manusia. Datang ke dunia untuk menebus dosa semua umat manusia. Mesias yang dijanjikan haruslah dari bani Israel.
Saya heran mengapa Muhammad mengklaim bahwa dia seorang nabi yang ditunggu-tunggu. Padahal semua nabi yang ditulis dalam alkitab adalah bani Israel.
Juga sayangnya saudari Muslim kita, entah sadar atau tidak, posisi wanita dan pria dibuat tidak sama. Dalam kebanyakan kasus, banyak sekali TKI kita ditindas di Arab Saudi.
~
Sdr. Indra,
Ya benar. Sejak semula Allah menjanjikan seorang Mesias (Al-Masih/Kristus), yakni Juruselamat manusia dari hukuman kekal atas dosa. Sesuai dengan nubuat melalui para nabi-Nya dalam kurun ribuan tahun, Israel menjadi bangsa yang Allah pilih bagi sarana kedatangan Sang Mesias. Itu sebabnya semua nabi Allah berasal dari Israel.
Karena Allah setia, janji tsb akhirnya digenapi dengan kehadiran Yesus Kristus (Isa Al-Masih) yang setia hingga akhir menggenapi rencana Allah, yakni pengampunan dosa. Anugerah gratis ini ditawarkan kepada semua manusia. Namun hanya mereka yang mau secara pribadi menerima pengorbanan Isa Al-Masih sajalah yang mendapat anugerah keselamatan itu. Bagi mereka yang menolaknya, hukuman kekal dosa tetap mereka tanggung. Sebab beginilah firman Allah: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah [Isa Al-Masih]“ (Injil Yohanes 3:18).
Saat janji terbesar Allah sudah tergenapi oleh Isa Al-Masih, tentu masalah terbesar manusia (kuasa dosa dan kebinasaan kekal) sudah ditaklukkan, bukan? Maka perlu dipertanyakan bila 600 tahun setelah Isa, tiba-tiba muncul tokoh dengan ajaran berbeda dari kitab Allah (Taurat, Zabur, Kitab Para Nabi, dan Injil), mengklaim dirinya nabi Allah. Pertanyaannya, apakah Allah tidak setia dengan janji-Nya semula sehingga merubah alur nubuat dan penggenapan yang sudah terjadi? Sungguh ganjil, bukan?
~
Yuli
***
1) Setia itu memang baik ,tapi jangan sampai kesetiaan itu menjadi Tuhan bagi manusia. Contoh: saat Anda percaya tentang kesetiaan, lalu suami Anda ingin menikah lagi dengan wanita lain, tentu Anda akan menangis sejadi-jadinya. Islam tidak mengajarkan seperti itu. Islam mengajarkan umat Muslim mencintai Allah dan mengutamakan kecintaan kepada Allah daripada manusia.
Itulah ujian kepada kaum wanita supaya Allah menempatkan wanita itu disisi-Nya nanti di surga, jika dia termasuk orang yang berpasrah diri kepada aturan Allah. Dunia ini hanyalah persinggahan, bukan untuk bersenang-senang di dunia. Pikirkanlah akhirat, jalankan aturan Allah, maka Allah akan membalasnya dengan surga.
***
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Terimakasih untuk kesediaan Anda menjawab salah satu pertanyaan fokus.
Terus terang kami dibingungkan dengan apa yang Anda sampaikan. Di satu sisi Anda menganggap kesetiaan itu baik. Namun di sisi lain, konsep “poligami syariat Allah” yang Anda pegang dengan sendirinya menyangkal kebaikan nilai “kesetiaan”. Sebab Allah Anda justru berpihak pada poligami yang melanggar kesetiaan. Bukankah ini membingungkan?
Saudaraku, tentu Anda menyakini bila Allah menghendaki kesetiaan umat-Nya, bukan? Maka sangat aneh bila Allah tidak menuntut kesetiaan seorang suami. Suami malah difasilitasi untuk berkhianat, bersenang-senang dengan urusan duniawi tanpa memperhatikan akhirat. Bukankah ini sungguh aneh? Apakah Allah Anda tidak konsisten dengan semua umat-Nya (wanita ataupun pria)? Tapi, bukankah yang tidak konsisten tidak bisa disebut Yang Maha Benar? Jadi, “siapa” yang Anda maksud berwenang mengizinkan suami berpoligami, berkhianat kepada isteri dan anak-anaknya?
~
Yuli
~
Intinya, suami, istri, anak, dll adalah sebuah ujian bagi manusia. Tidak ada yang lebih utama selain Allah. Kami hanya tahu Allah-lah yang menciptakan bumi dan isinya. Dia tahu kondisi umat-Nya dan Dia tahu kondisi alam semesta.
Mohon maaf, disini saya kutip pernyataan tentang yang mengatakan penduduk kebanyakan adalah perempuan. Jadi jelas mengapa Allah menghalalkan poligami. Itu hanya ditinjau menurut logika dan kenyataan saja. Tapi saya rasa, maksud dari Allah pasti ada tujuan baik dalam perintah-Nya. Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Takwa kepada Allah adalah bukti iman kita kepada Allah.
~
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Anda belum menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang seberapa kenal Anda dengan siapa yang Anda sembah dan imani. Inti pertanyaan kami, benarkah yang Anda sembah bersifat Maha Benar ketika ia membenarkan tindak pengkhianatan yang merendahkan nilai kesetiaan, dan tidak konsisten dengan syariatnya (mewajibkan umat setia kepadanya tetapi mengizinkan pria tidak setia pada isterinya)? Bukankah sangat ironis?
Juga, jika Anda mengetahui Allah Maha Benar-lah yang menciptakan semesta dan yang tahu kondisi umat-Nya, maka dengan pertanyaan-pertanyaan kami, tentu Ia bukanlah Allah yang melegalkan poligami dimana kesetiaan diabaikan, bukan?
Saudaraku, seandainya benar Allah yang menghalalkan poligami, bagaimana mungkin Yang Maha Benar itu mendasarkan keputusan-Nya pada informasi yang tidak benar dari data statistik penduduk dunia? Apakah Allah tidak Maha Tahu sehingga mudah dibohongi?
~
Yuli
~
Yuli,
Bukankah Anda sudah membaca komentar saya? Saya sudah menjawabnya. Allah Maha Benar. Jika kamu kaji penduduk dunia, kebanyakan wanita. Maka selayaknya kita percaya maksud poligami itu baik. Tujuannya supaya secara merata wanita-wanita itu bisa merasakan pernikahan.
Aku diciptakan oleh Allah dan kita tahu dunia itu tidak kekal, hanya persinggahan yang singkat jika dibandingkan keabadian sorga nanti. Pernikahan hanyalah sebuah ujian. Tujuan adalah Allah. Manakah yang lebih utama bagi kami, bersikeras dengan keinginan kami, atau mengikuti petunjuk Allah dengan balasan surga yang abadi?
Merasa ironis dan gelisah itu karena Anda lebih mencintai dunia/suami dibandingkan Allah dan surga.
~
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Justru informasi jumlah perbandingan pria dan wanita yang Anda jadikan pijakan itulah yang rapuh. Sudahkah Anda buktikan kebenarannya bila wanita lebih banyak daripada pria? Data statistik penduduk dunia justru mengatakan hal berbeda, Saudaraku. Nah, sudahkah Anda mengetahui hal ini? Maka, jangan mudah percaya klaim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Saudaraku, seandainya apa yang Anda sampaikan benar (poligami adalah syariat Allah), alangkah tidak adilnya Allah yang lebih berpihak pada pengumbaran hawa nafsu pria dengan dalil sebagai bahan ujian bagi para wanita? Apakah Allah tidak Maha Adil bagi pria maupun wanita? Jika ia disebut Maha Adil tapi syariatnya tidak memberikan keadilan bagi salah satu kaum, jelas membuktikan dia tidak Maha Benar, bukan? Sebab antara klaim dan fakta tidak ada keselarasan. Apakah ini Allah yang sejati? Mari pertimbangkan hal ini dengan kejernihan akal dan hati.
~
Yuli
~
Saya tidak tahu kalau penduduk banyak wanita atau pria. Saya hanya mendengar saja. Tetapi kalau untuk melanggar ketetapan Allah, saya rasa tidak mungkin Islam melanggar hal itu. Klaim itu tidak diajarkan Allah, manusia bisa salah.
Islam sangat percaya dengan Allah. Lagi pula tidak semua umat Islam berpoligami. Hanya saja, umat Muslim tahu boleh berpoligami, tapi hanya sebatas boleh.
~
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Kami sangat memuji rekan-rekan Muslim yang memilih untuk hidup dalam kesetiaan perkawinan monogami. Dan faktanya, penduduk Muslim Indonesia masih banyak yang mempertahankan kesetiaan perkawinan monogaminya hingga maut memisahkan keduanya. Itu artinya mereka sadar bahwa hanya dalam kesetiaan bermonogamilah ketenteraman keluarga bisa terjaga. Sebab di dalamnya, istri dan anak-anak merasa nyaman karena dicintai dengan tulus oleh seorang kepala keluarga yang sanggup mengayomi mereka lahir batin.
Untuk tujuan yang indah inilah Allah menetapkan perkawinan monogami. Sebab, bukankah Allah itu Maha Baik? Maka sangat mustahil jika Ia menetapkan sebuah syariat yang berdampak buruk pada kesejahteraan keluarga, bukan?
~
Yuli
~
Pada zaman dahulu adalah zamannya manusia berperang, banyak wanita yang ditinggal suaminya karena gugur dalam medan perang. Umat Islam menganjurkan untuk menikahi wanita-wanita yang ditinggal suaminya supaya mereka ada yang menafkahi. Hal itu dianjurkan pada zamannya. Mungkin zaman sekarang apalagi di Indonesia tidak perlu berpoligami. Tetapi Al-Quran adalah panduan untuk semua Muslim, bukan untuk Indonesia saja. Bukankah negara-negara sekarang masih terjadi peperangan?
~
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Jika demikian, benarkah poligami ajaran dari Allah sedangkan praktik ini tidak menghiraukan ketetapan Allah yang menghendaki ketenteraman isteri dan anak-anak sebagai anggota keluarga?
Apakah pada saat Isa Al-Masih menegaskan kembali ketetapan Allah tentang kesetiaan monogami ini (Injil Matius 19:4-6 yang Isa rujuk dari Taurat, Kitab Kejadian 2:24), suasana politik Israel tenang seperti Indonesia yang sudah merdeka? Tidak, Saudaraku. Israel dalam penjajahan Romawi dan terjadi pergolakan pemberontakan yang juga memakan nyawa. Namun, mengapa Isa Al-Masih tidak mengubahnya menjadi poligami? Sebab segala firman Allah (termasuk tentang kesetiaan monogami) adalah firman yang kekal, bersumber dari Yang Maha Benar dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Itu sebabnya tidak mungkin tergoyahkan oleh peraturan manusia yang ujung-ujungnya hanyalah keuntungan diri sendiri, bukan kesejahteraan bersama.
Seandainya poligami memenuhi unsur kesejahteraan bersama dengan cara menolong para janda, mengapa harus mengorbankan ketenteraman isteri dan anak-anak? Apakah logis? Bukankah menolong para janda bisa dilakukan dengan banyak cara selain menikahinya?
~
Yuli
~
Ya jelas dari Allah. Masakan dari saya? Wanita itu perlu dilindungi. Seandainya wanita dibiarkan sendirian juga kasihan. Lebih baik mana? Jika para istri rela karena melihat kondisi para janda yang mengkhawatirkan, bagaimana? Apa masih salah juga kita umat Muslim? Supaya anak-anak yang ditinggal suami bisa merasakan kasih sayang, apa masih salah juga umat Muslim?
Rencana Allah itu jauh lebih hebat daripada rencana manusia. Jadi tidak ada alasan lain selain mengikutinya. Kami berserah diri kepada Allah.
~
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Dengan jawaban Anda yang tetap bersikukuh bila poligami adalah ide Allah, apakah Anda sudah mempertimbangkan fakta-fakta pertentangan yang ada dengan logika sehat? Jika poligami sungguh berasal dari Allah, mengapa Taurat dan Injil yang dilkaim Al-Quran sebagai kitab Allah (Qs 5:46) justru mengajarkan kesetiaan monogami sejak mula Allah menciptakan manusia? Juga, bila Anda yakin Allah Maha Adil, mengapa poligami yang Anda yakini berasal dari Allah justru tidak mengandung unsur keadilan bagi isteri dan anak-anak? Seandainya poligami mengandung keadilan, mengapa hati isteri dan anak-anak tersakiti atas ketidaksetiaan kepala keluarga yang bercabang hati dengan wanita lain?
Saudaraku, bagaimana Anda mengartikan perlindungan bagi wanita? Apakah hanya secara jasmaniah saja? Bagaimana dengan batin mereka? Apakah luka batin akibat dikhianati bukanlah hal serius? Bagaimana jika Anda yang mengalami hal ini?
~
Yuli
~
Begini saja. Jika Anda ditinggal suami waktu masih muda, bagaimana perasaan aAda? Anda dalam keadaan kesusahan, bagaimana? Bagaimana jika Anda punya anak-anak yang kelaparan? Apa tidak lebih baik kalau Anda menikah lagi? Supaya Anda dan anak-anak mendapat nafkah yang lebih layak, ada yang mengurus juga.
Apakah Anda mau nikah atau memilih tidak menikah? Sedangkan Anda butuh nafkah lahir batin, masakan sepanjang hidup menyendiri? Bukankah kasihan?
~
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Pertanyaan Anda berikut sangat menarik untuk ditanggapi: “Jika Anda ditinggal suami [u]waktu masih muda[/u], bagaimana perasaan Anda?” Mengapa “masih muda” menjadi penekanan Anda? Ataukah karena jika wanita “sudah tua”, apalagi kurang mampu secara finansial, dan masih banyak tanggungan anak, tidak lagi menarik hati pria untuk dipoligami?
Saudaraku, jika seorang janda yang punya tanggungan anak memilih dipoligami supaya kehidupan ekonominya terjamin, bukankah ini tindakan yang sangat egois? Tidakkah ia memikirkan penderitaan batin dari isteri pertama dan anak-anak? Lalu, apakah Allah meridhoi tindakan egois si janda ini? Apakah Allah tidak sanggup menghidupi keluarga si janda tanpa dipoligami? Bukankah Allah Maha Kaya dan Maha Kuasa menolong umat-Nya? Fakta di sekitar kita pun membuktikan banyak janda yang berhasil menghidupi keluarganya tanpa dipoligami. Bukankah fakta nyata ini tidak bisa disangkal, Saudaraku?
~
Yuli
~
Jadi, apakah lebih baik dibiarkan saja? Tapi bagaimana jika janda belum punya anak? Apa si janda juga tidak boleh menikah lagi? Kalau tidak punya anak, kasihan dibiarkan sendiri.
~
Sdr. Serahkan Pada Allah,
Mari renungkan ulang pertanyaan-pertanyaan kami di kolom # Staff Isa Islam dan Kaum Wanita 2017-09-04 16:18. Jika kita memiliki kepekaan hati, tentu kita bisa menemukan nilai-nilai kebaikan yang Allah ridhoi.
Saudaraku, ketika sudah ada banyak bukti di sekitar kita dimana Allah memelihara kehidupan keluarga para janda yang memiliki beban anak-anak tanpa mereka dipoligami oleh pria beristri, mengapa pula Anda merisaukan nasib para janda yang belum mempunyai anak? Bukankah tanggungan mereka lebih ringan? Tidak sanggupkah Allah menolong mereka dengan kehidupan yang kudus tanpa merusak rumahtangga orang lain?
Mari koreksi diri. Dengan apa yang Anda sampaikan, benarkah Anda sedang mengasihani nasib si janda? Ataukah hal ini mewakili aspirasi para pria beristri yang tergoda untuk melupakan kesetiaannya terhadap isteri dan anak-anaknya di rumah?
~
Yuli
~
Jawaban dari “Sdr. Serahkan Pada Allah” tidak logis. Islam tidak pernah menganjurkan menikahi wanita yang ditinggal mati suaminya. Menikahi wanita dengan alasan agar ada yang menafkahinya adalah alasan yang salah. Kalau ingin membantu menafkahi, bantulah nafkahi, bukan dinikahi. Siapa yang mengajarkan Anda bahwa Islam menganjurkan menikahi wanita yang ditinggal mati suaminya?
Sekarang saya bertanya. Jika wanita ditinggal mati suaminya lalu menikah lagi, apakah wanita itu bisa disebut setia? Tentu saja tidak. Mereka yang menikah lagi adalah mereka yang mau mengulang atau membuka lembar baru pernikahan.
~
Sdr. Saya,
Terimakasih untuk kesediaan Anda bergabung dalam diskusi di forum ini.
Tanggapan Anda terhadap “Sdr. Serahkan Pada Allah” tidak keliru. Tujuan pernikahan bukan untuk membantu menafkahi, sebab menafkahi tidak harus menikahi jika memang tujuannya tulus menolong, bukan? Apalagi jika menikahi menggunakan alasan “menafkahi” demi memuluskan niat poligami. Tidakkah ini nafsu berkedok derma? Jauh dari mulia, bukan?
Namun, di sisi lain juga tidak bisa dibenarkan ketika Anda berpendapat janda yang suaminya meninggal, Anda sebut tidak setia bila ia kemudian menikah lagi. Mengapa? Bukankah janji kesetiaan pernikahan dibuat “sampai maut memisahkan”? Maka bila maut telah benar-benar memisahkan keduanya, artinya janji kesetiaan mereka sudah tuntas terlaksana, bukan? Dengan demikian, salah satu yang masih hidup dapat membuka lembaran pernikahan baru dengan orang lain.
Isa Al-Masih bersabda: “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Injil Matius 22:30). Dengan demikian, di akhirat tidak lagi ada pertalian pernikahan sehingga kita tidak perlu beranggapan bila seorang janda/duda yang menikah lagi di dunia karena ditinggal mati pasangannya telah berbuat tidak setia terhadap suami/isterinya yang lebih dulu ada di akhirat.
~
Yuli