Kebanyakan Muslim tidak berpoligami. Namun kelihatan poligami menjadi lebih populer sekarang ini. Pakar Islam memakai Qs 4:3 untuk membenarkan berpoligami: “. . . maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat . . . .” Dikatakan syarat berpoligami, suami harus “berlaku adil” kepada semua isterinya. Akan tetapi jelas Al-Quran mengijinkan poligami dalam Islam, bukan? Karena itulah nabi Islam dan sebagian pria Muslim berpoligami.
Dengan mendalami kasus suami Fatimah yang dilarang berpoligami, kita akan memiliki sikap yang tepat kepada konsep sosial Islamiah ini.
Nabi Islam: “Melukai Fatimah, Melukai Saya”
Aneh memang, nabi umat Islam melarang menantu, Ali, suami Fatimah, berpoligami. Katanya, “. . . Fatimah adalah bagian dari tubuhku dan saya membenci apa yang dia benci dan apa yang melukai dia, melukai saya” (Bukhari).
Jadi nabi Islam tahu berpoligami melukai hati anak kesayangannya, Fatimah. Ia tidak ingin anaknya dilukai, maka ia melarang menantunya, berpoligami. Dalam hal ini nabi Islam melindungi anaknya sendiri dari dampak negatif akibat poligami!
Benarkah Poligami Menyakiti Wanita?
Sayangnya, nabi Islam tidak melarang poligami! Sejak permulaan agama Islam, milyaran wanita hatinya terluka karena suami mereka berpoligami. Anehnya, Muhammad tidak ingin melindungi wanita-wanita tersebut dari luka akibat poligami, seperti ia melindungi Siti Fatimah.
Ajaran poligami akan menggoda kaum pria untuk menikahi lebih dari satu isteri. Dan itu akan menambah banyak korban wanita yang tersakiti akibat poligami. Sebab “Pada dasarnya, tidak ada seorang isteri pun yang rela sekiranya ada wanita lain yang hendak merebut cinta suaminya … Itulah fitrah manusia . . . ,” ditegaskan Muhammad Abduh.
Hasil Penelitian Membuktikan Dampak Negatif Poligami
Dr. H. Ari Fahrial Syam SpPD, menjelaskan hasil penelitian di Syria, Palestina, Turki, Yordania, Kuwait, di antaranya:
- Penelitian di Turki membuktikan bahwa wanita korban poligami ternyata lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan ataupun stres.
- Mereka lebih mudah jatuh ke dalam depresi, gangguan psikosomatik, serta mengalami kecemasan dan paranoid.
- Di Yordania, misalnya, istri pertama bukan hanya merasa rendah diri dan tidak berharga, tapi juga masalah ekonomi juga lebih besar daripada yang monogami.
- Para istri yang dimadu akan lebih mudah mengalami gangguan kesehatan dibandingkan dengan wanita yang tidak dimadu.
Jadi poligami dalam Islam mengakibatkan banyak penderitaan bagi isteri.
Dalam Monogami – Istri Tidak Tersakiti
Allah menetapkah pernikahan yang benar dan terbaik yaitu monogami. Isa Al-Masih berfirman “… Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (Injil, Rasul Besar Matius 19:5).
Dengan perkawinan monogami sesuai ketetapan Allah, isteri tidak akan tersakiti seperti dalam kasus poligami.
Marilah kita mengikuti larangan Muhammad kepada menantunya Ali dan tidak berpoligami. Marilah kita menaati sabda Isa Al-Masih untuk menikah monogami.
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Dapatkah Nabi Islam disebut nabi semua manusia, jika hanya melindungi Fatimah namun, tetapi tidak melindungi para wanita lain dari sakit poligami? Berikan alasan Saudara!
- Benarkah poligami dalam Islam, yang melukai kaum wanita adalah ketetapan/wahyu Allah? Jelaskan jawaban Saudara!!
- Menurut Anda, manakah yang lebih membahagiakan istri, poligami atau pernikahan monogami? Berikan alasan Anda!
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini.
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini.
Manusiagoa mengatakan
~
Perlu saya luruskan perihal ini. Nabi SAW melarang Ali bin Abi Thalib RA menikah dengan putri Abu Jahal sebab Nabi SAW bersabda “tidak layak seorang anak mantu Nabi bersatu dengan putri dari penentang Nabi SAW”.
Nabi SAW pun tidak pernah melarang Ali bin Abi Thalib menikahi perempuan lain. Bahkan Ikrimah bin Abu Jahal. Tidak ada perdebatan mengenai pendapat tsb. Bahkan Ikrimah bin Abu Jahal mati berjihad dalam kondisi Islam. Wallahu ‘alam bishowab.
staff mengatakan
~
Sdr. Manusiagoa,
Seandainya benar “putri penentang Muhammad” adalah alasan penolakannya terhadap niat poligami Ali, mengapa nabi Anda juga menikahi wanita Yahudi, kaum yang nabi Anda musuhi? Tentu alasan semacam ini tidak konsisten, bukan?
Juga, bagaimana Anda menjelaskan “kesetiaan” Ali bermonogami hingga Fatimah wafat, pasca niat poligaminya ditolak sang mertua? Seandainya “putri musuh nabi” adalah alasannya, apakah semasa Fatimah hidup, Ali tidak menemukan “wanita baik” lainnya untuk dipoligami, bersandingan dengan Fatimah? Mengapa harus menunggu Fatimah wafat? Mustahil jika tidak ada kaitannya dengan “rasa sakit hati Fatimah dipoligami” sebagaimana hadits-hadits tsb informasikan, bukan?
~
Yuli
Manusiagoa mengatakan
~
Poligami dalam Islam adalah ibadah yang sunnah untuk diikuti oleh umat-Nya. Poligami bukan suatu masalah yang harus dihindari. Justru poligami bagi umat Islam adalah solusi yang Allah SWT tawarkan untuk umat-Nya. Caranya bagaimana, ikutilah SOP sesuai petunjuk Nabi SAW. Sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah SWT dan rasul-Nya, dan pula diiikuti oleh sahabat dan Tabi’in serta Tabi dan Tabi’in.
staff mengatakan
~
Sdr. Manusiagoa,
Apakah arti ibadah sesungguhnya? Bukankah pernyataan, sikap hati, dan perbuaan bakti kita kepada Allah? Di sini Allah-lah pusatnya, Pribadi yang kita layani. Lalu, bagaimana dengan poligami, siapakah yang menjadi pusatnya, Allah atau nafsu yang kita layani? Jika Allah yang menjadi pusatnya, bukankah selalu berdampak kesejahteraan bagi semua pihak? Sebaliknya, jika malah mendatangkan luka dan derita bagi istri, anak, keluarga besar secara berkepanjangan, apakah Allah yang Maha Adil lagi Maha Penyayang meridhainya? Apakah layak disebut sebagai ibadah yang sejati kepada Allah?
~
Yuli
Aisyah mengatakan
~
Nabi Muhammad menikahi Aisyah yang saat itu masih kecil karena petunjuk Allah. Bahwa Aisyah adalah istrinya dunia dan akhirat.
“Jika ini benar dari Allah, maka niscaya akan terlaksana” (Rasulullah).
staff mengatakan
~
Sdr. Aisyah,
Silakan pelajari artikel berikut untuk mempertimbangkan ulang, sungguhkah pernikahan nabi Anda dengan Aishah adalah kehendak Allah: https://tinyurl.com/y9b8eu83.
~
Yuli
Maria Shanty mengatakan
~
“Menurut Anda, manakah yang lebih membahagiakan istri, poligami atau pernikahan monogami? Berikan alasan Anda!”
Respon:
Pernikahan monogami. Sebagai isteri, saya sangat menikmati status saya sebagai nyonya dalam kehidupan saya sekalipun suami bukan yang terbaik. Wajahnya biasa saja, kariernya hanya standar dibandingkan teman-teman seangkatannya. Gaptek dan tidak bisa berbahasa Inggris seperti saya, tidak berani berbisnis seperti yang didorong pemerintah saat ini. Pokoknya, dia jauh dari suami idaman yang bisa membuat isteri tampil cetar membahana dan berkecukupan (cukup buah-buahan, cukup kosmetik, cukup perhiasan, cukup travelling, dll). Hanya satu yang dia punya sangat berlimpah dan membuat saya berbahagia, yaitu kasih sayang penuh bagi saya dan tiga anak kami. Itu tidak mungkin saya rasakan jika ia berpoligami.
staff mengatakan
~
Sdr. Maria Shanty,
Benar apa yang Anda sampaikan. Kebahagiaan berumahtangga bukan terletak pada masalah kebendaan tapi pada ketenteraman hati yang dihasilkan dari kasih sayang masing-masing pasangan. Itu semua tidak mungkin terjadi secara langgeng bila tidak ada komitmen kesetiaan di dalamnya. Kesetiaan adalah bagian dari kasih sebagaimana Allah ajarkan dan teladankan dari pengorbanan Isa Al-Masih yang setia mengasihi umat-Nya hingga menyerahkan nyawa-Nya demi keselamatan kita, orang-orang berdosa.
Untuk itulah setiap pasangan, terlebih lagi suami sebagai kepala keluarga, sepatutnyalah meneladani kasih dan kesetiaan Isa Al-Masih dengan cara setia mengasihi istri dan anak-anaknya dalam rumahtangga monogami demi kebahagiaan bersama.
~
Yuli
Nur fazriati mengatakan
~
Suami yang ingin berpoligami harus meminta persetujuan dari istrinya. Jika istri tidak menyetujuinnya maka tidak bisa berpoligami. Sekian.
staff mengatakan
~
Sdr. Nur Fazriati,
Seandainya Anda mengalami situasi yang sama sebagaimana Anda sampaikan, bagaimana reaksi Anda? Dalam hal ini Anda adalah satu-satunya istri dari suami Anda. Di kemudian hari ia meminta restu Anda agar diizinkan berpoligami dengan wanita lain. Bagaimana perasaan Anda? Tidakkah Anda merasa terkhianati? Lebih jauh lagi, apakah Allah yang Maha Bijaksana, Maha Benar, Maha Adil, lagi Maha Penyayang meridhai ketidaksetiaan umat terhadap pasangan hidup dan anak-anaknya? Mari pertimbangkan hal ini lebih dalam.
~
Yuli
Yishmael generation mengatakan
~
Artikelnya agak bertendensi, hati-hati SARA. Kita hidup di suatu negeri.
staff mengatakan
~
Sdr. Yishmael Generation,
Terimakasih untuk kunjungan Anda di artikel ini. Kami berharap saat membacanya, Anda pun aktif mencermati setiap isi yang disampaikan sambil memeriksa kesesuaian sumber-sumber yang tercantum di sana. Dengan demikian Anda dapat mempertimbangkan lebih jauh terhadap nilai-nilai ajaran yang selama ini Anda terima dan yakini, sungguhkah sesuai dengan karakter kemahabenaran, dan kemahaadilan Allah? Sebab, mustahil jika apa yang Allah perintahkan bertentangan dengan sifat diri-Nya, bukan?
~
Yuli
saef mengatakan
~
Saya kira penafsiran Anda tentang posisi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ketika melarang Ali menikahi keturunan Abu Jahal adalah keliru dan sama sekali tidak benar. Sebab pemahaman Anda tentang poligami sangat dangkal bila dibandingkan poligami yang dipahami dalam Islam.
Poligami tidak saja sebagai solusi namun juga sebagai obat bagi penyakit rumah tangga, khususnya untuk melindungi hak wanita Muslimah dan non-Muslimah umumnya.
staff mengatakan
~
Sdr. Saef,
Terimakasih untuk pendapat yang Anda berikan.
Jika Anda meyakini poligami dalam Islam adalah solusi dan obat bagi penyakit rumahtangga, penyakit rumahtangga seperti apakah yang Anda maksudkan?
Bila pemahaman Anda tsb diterapkan pada rumahtangga Ali – Fatimah, penyakit rumahtangga apa yang mereka derita sehingga Ali berkeinginan mempoligami Fatimah? Juga, dapatkah Anda jelaskan mengapa nabi Anda justru menolak keinginan Ali menduakan Fatimah, putri kesayangannya? Seandainya benar poligami itu obat bagi penyakit rumahtangga, bukankah seharusnya nabi Anda mengizinkannya? Toh nabi Anda juga berpoligami. Bagaimana, Saudaraku?
~
Yuli
Elra mengatakan
~
Saudari Yuli mengatakan “… apakah Islam hanya memerlukan kepatuhan hati beriman tanpa boleh melibatkan logika? Lalu, apa tujuan Allah mengaruniakan logika sehat kepada manusia?”
Saya mencoba jawab: ya karena Islam itu soal keyakinan dan iman. Bukan sekedar logika. Jika Anda memilah-milah dalam ajaran agama, silakan Anda buat agama dan ajaran sendiri sesuai logika Anda. Buat peraturan sesuai yang Anda inginkan.
Toh ajaran Kristen sendiri telah banyak merubah injil sesuai logika kalian. Berarti itu bukan lagi ajaran dari Tuhan melainkan ajaran logika kalian sendiri. Kenapa tidak membuat agama sendiri saja?
Kami Islam tidak memilah-milah apa yang telah ditetapkan atas kami, baik itu sesuai logika atau tidak, baik itu menurut kami berat atau tidak. Karena kami yakin Allah menetapkan sesuatu atas kami berarti itulah yang terbaik. Allah Mahatahu sedangkan manusia tidak. Kami murni menjalankan isi Al-Quran yang asli dan tidak pernah diubah. Sedangkan kalian hanya menjalankan yang menurut kalian masuk logika. Bayangkan logika setiap manusia tidak sama. Berarti manusia menjalankan sesuai logika masing-masing, bukan ajaran Tuhan. Kalian sekarang hanya melakuakn ajaran pendeta atau dilogikakan pendeta, bukan Tuhan.
staff mengatakan
~
Sdr. Elra,
Kami salut dengan keberserahdirian Anda kepada siapa yang Anda sembah. Ini sangat baik bila kita sungguh-sungguh membaktikan diri kepada Allah Sejati, Khalik semesta. Masalahnya, sejauh mana kita mengenal siapa yang kita sembah? Apakah “Yang Maha Benar”? Bagaimana bisa memastikannya bila kita sendiri belum mengenal-Nya sehingga tidak bisa membedakan manakah yang “benar” dan “salah”, yang “sejati” dan “palsu”?
Saudaraku, dengan cara apa kita bisa mengenali sesuatu itu “benar” atau “salah”? Apakah logika sehat tidak terlibat di sana? Justru untuk keperluan mengenali mana yang “benar” dan “salah” itulah Allah mengaruniakan kemampuan berlogika bagi kita. Melaluinya, Allah Yang Maha Benar menyatakan siapa diri-Nya untuk kita kenal.
Menurut Anda, mana yang benar: “setia” atau “mendua hati”? Bukankah Yang Maha Benar menjunjung tinggi kasih kesetiaan tanpa pengkhianatan? Maka, sangat aneh seandainya Allah tiba-tiba memberikan syariat poligami dimana unsur ketidaksetiaan menjadi intinya, bukan? Juga, mustahil bila “yang dituduh sebagai kitab yang diubah”, ajaran moralitasnya jauh lebih unggul daripada “kitab yang diklaim asli dari Allah, tidak pernah diubah”. Apakah buatan manusia lebih hebat daripada buatan Allah?
~
Yuli
Elra mengatakan
~
Saya coba menjawab pertanyaan tentang mengapa Nabi Muhammad berpoligami sedangkan ia melarang menantunya berpoligami. Istri-istri Nabi Muhammad ridho untuk dipoligami. Oleh karena itu ia melakukannya. Sedang ia tahu bahwa anaknya Fatimah tidak ridho dipoligami. Oleh karena itu ia melarang Ali berpoligami.
Karena syarat sah poligami itu sendiri adalah izin dan ridho dari istri pertama. Itu yang diajarkan Islam dan itu yang berlaku pada umat Islam. Dan ganjaran bagi istri yang besedia dipoligami dengan alasan syar’i tidaklah kipas angin atau rumah baru, melainkan surga yang indah. Itu janji Allah. Saya harap Anda yang selalu memakai logika bisa memahami ini.
Terimakasih.
staff mengatakan
~
Sdr. Elra,
Mari maksimalkan diri dalam berlogika secara sehat. Dapatkah Anda tunjukkan bukti dari sumber shahih yang menyatakan bila nabi Anda meminta izin dan ridho dari para isterinya bila akan menikahi wanita-wanita lain? Bagaimana pula pernikahannya dengan Maria, wanita cantik yang banyak dicemburui istri-istrinya? Bagaimana Anda menjelaskan konflik antar istri nabi Anda seandainya mereka benar-benar ridho dipoligami?
Seandainya benar Allah menjanjikan sorga bagi istri yang ridho dipoligami, apakah Fatimah yang notabene putri nabi besar Islam, nabi yang mengajarkan hal tsb, tidak ingin masuk sorga dengan ketidakridhoannya terhadap rencana suaminya berpoligami? Anehnya lagi, mengapa nabi Anda malah berpihak pada ketidakridhoan putrinya? Apakah nabi Anda tidak ingin putrinya masuk sorga? Mari pikirkan, Saudaraku.
~
Yuli
Kuma mengatakan
~
Poligami itu ada dalam Taurat. Yang tidak konsisten itu orang Kristen. Kamu mau menyalahkan poligami, salahkan juga Kitab Perjanjian Lama dalam Injil.
Nabi Ibrahim, Daud, Sulaiman. Tuhan mengizinkan nabi-nabi tersebut berpoligami. Kamu tahu Ibrahim istrinya ada tiga selama hidupnya dalam Injil. Kamu tahu gundik Nabi Daud ada berapa menurut Perjanjianh Lama? Berarti Tuhan Kristen yang tidak konsisten. Tuhan sebelum Tuhan manusia kamu itu tidak konsiten dalam artian Tuhanmu mengidap kepribadian ganda.
Poligami itu memang saratnya harus adil.
staff mengatakan
~
Sdr. Kuma,
Pernyataan Anda: “… Kitab Perjanjian Lama dalam Injil” membuktikan apa yang Anda sampaikan tidak benar karena Anda sendiri belum membaca Alkitab. Alkitab terdiri dari dua bagian yaitu Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Injil adalah bagian dari PB. Maka jelas Kitab PL tidak ditempatkan dalam Injil.
Benar bahwa Taurat mencatat Abraham, Daud, dan Salomo berpoligami. Namun, apakah Anda menemukan satu ayat bahwa Allah memerintahkan mereka berpoligami? Bukankah justru karena kekurangsabaran Abraham dan Sara menanti janji Allah, Abraham berpoligami? Dan bukankah akibat pahit berkepanjangan yang terjadi? Silakan baca Taurat, Kitab Kejadian pasal 16 dan 21. Juga, PL dengan rinci mencatat akibat buruk yang berdampak luas bagai seluruh bangsa dan generasi Israel ata poligami Salomo dengan para wanita asing yang menjauhkan hatinya dari Tuhan (Kitab 1 Raja-raja 11:1-13).
Kini, silakan Anda pikirkan. Andaikan benar poligami perintah Allah, tentu tidak akan berdampak buruk, bukan? Juga, mengapa nabi Anda melarang putrinya dipoligami? Bukankah ia tahu dampaknya pasti buruk bagi putri tercintanya?
~
Yuli
Muslim mengatakan
~
Mengenai “Mengapa nabi umat Islam, Muhammad SAW berpoligami sedangkan menantunya Ali bin Abi Thalib ra. tidak berpoligami ketika Fatimah ra. putri Nabi SAW masih hidup?”, mungkin sekilas argumen Saudari Yuli terdengar lebih masuk akal. Tapi percayalah, ada argumen dari kami umat Islam yang bisa mematahkan argumen Saudari Yuli tsb. Mungkin bukan saya, tapi saya berharap suatu saat ada seorang Muslim yang bisa menjelaskan dan mematahkan argumen Saudari Yuli tsb.
Bagiku agamaku dan bagimu agamamu, biarlah kita beriman dengan cara kita masing-masing. Ada beberapa hal yang tidak bisa diukur dengn logika. Maka dari itu, kami beriman kepada hal gaib, hal yang hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Muslim,
Kami memahami apa yang Anda dan sebagian besar saudara-saudari Muslim yakini. Yaitu beriman sebagai ranah yang tidak boleh disentuh logika. Masalahnya, apakah yang kita imani adalah kebenaran?
Saudaraku, bagaimana Anda tahu bila “Mencuri itu salah” adalah pernyataan “kebenaran”? Bukankah karena logika Anda memahami bila mencuri adalah mengambil apa yang bukan menjadi hak/miliknya? Dari sini nyata bahwa “kebenaran” dapat dikenali dengan logika. Itu sebabnya Allah, Pribadi yang Maha Berlogika dalam segala kehendak, keputusan, karya, dan firman-Nya, mengaruniakan kepada kita logika berpikir agar kita mampu mengenali kebenaran-Nya, tidak dibelokkan oleh ketidakbenaran. Nah, maukah kita serius mencari dan menghidupi kebenaran sejati dari Allah? Mematikan logika berarti menutup mata terhadap kebenaran itu sendiri.
~
Yuli
Muslim mengatakan
~
Siapa yang mengatakan mematikan logika? Bukankah sebelumnya saya katakan ada beberapa hal yang tidak bisa diukur dengan logika manusia. Analogi sederhana berlogika Saudari Yuli tentang “mencuri itu salah” mungkin bisa diterima oleh semua orang. Tapi mengenai kebenaran, tidak semua hal bisa dinilai oleh manusia benar atau salah. Misalkan seperti kebijakan Bung Karno dulu yang tidak mau menerima pinjaman IMF untuk mengelola SDA Indonesia, karena nantinya akan diberatkan oleh bunga. Bung Karno lebih memilih menunggu hingga nantinya masyarakat Indonesia siap. Bagi sebagian orang yang menghayati jargon “Berdikari”, kebijakan tersebut akan dianggap tepat. Tapi bagi sebagian orang lain, hal itu justru dianggap akan memperlambat kemajuan Negara Indonesia. Dari contoh kasus ini, bagaimana Anda menilai suatu “kebenaran”? Bukankah “kebenaran” akan menjadi rancu bagi logika manusia jika dilihat dari beberapa sudut pandang? Maka dari itu, ada beberapa hal dalam kehidupan yang hanya bisa diputuskan oleh Allah SWT yang esa, benar atau salahnya, karena logika manusia tidak bisa menjangkau hal tersebut.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Muslim,
Sangat baik saat Anda sepakat kebenaran dapat dicerna logika, bukan lepas darinya. Dalam kaitannya dengan persoalan iman yang sedang kita bicarakan, “kebenaran” yang dimaksud bukan “kebenaran relatif” seperti yang Anda contohkan. Tapi “kebenaran sejati” yang universal, dimana Allah yang Maha Benar penentu standardnya. “Mencuri itu salah” adalah contoh “kebenaran sejati/universal”. Standard ini jelas Allah tetapkan dalam kitab-Nya: “Jangan mencuri” (Taurat, Kitab Keluaran 20:15 dan Injil Matius 19:18). Ini mampu dicerna akal sehat, tidak bertentangan dengan standard-standard kebenaran sejati/universal lainnya dari Allah.
Sebaliknya, bagaimana dengan “ajaran poligami” nabi Anda serta ketidakkonsistensian sikapnya saat hal yang sama akan menimpa putrinya? Apakah logika sehat tidak bisa menjamahnya? Mari kita rinci:
– Dalam Taurat dan Injil, Allah telah menetapkan kesetiaan pernikahan monogami. Mengapa nabi Anda mengajarkan poligami? Bukankah bertentangan dengan kehendak Allah semula?
– Salah satu intisari Taurat dan Injil adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Mengapa poligami malah menduakan kesetiaan seorang suami/ayah kepada istri dan anak-anaknya terhadap wanita lain? Bukankah ini menyakiti sesama? Jika poligami kebenaran dari Allah, mengapa bertentangan dengan kebenaran-kebenaran Allah lainnya?
– Mengapa nabi Anda melarang putrinya dipoligami andai benar poligami itu kebenaran sejati dari Allah? Bukankah kebenaran sejati berlaku universal? Lalu mengapa tidak berlaku bagi putrinya?
~
Yuli
Muslim mengatakan
~
Mengapa Anda mengedit Kata “Esa” yang saya ketik menjadi “esa”? Haruskah pembaca artikel ini memiliki pola pikir yang sama seperti Anda?
Saya mencoba mengikuti pola pikir tentang pengelompokan antara “kebenaran sejati” dan “kebenaran relatif” seperti yang Anda kemukakan. Secara tidak langsung Anda sendiri menyadari bahwa logika manusia tidak dapat mencerna semua hal yang terjadi di dunia ini. Saya berlindung kepada Allah SWT yang Esa atas kekeliruan yang saya lakukan dalam diskusi ini. Poligami bukanlah ajaran yang diharuskan dalam Al-Quran. Namun jika seseorang melakukan poligami, maka bagaimana cara bersikap adil kepada para istri sudah dicontohkan oleh nabi kami berdasarkan Al-Quran.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Muslim,
Terimakasih untuk koreksi yang Anda berikan. Dalam pengelolaan forum diskusi ini, standard baku EYD menjadi acuan kami mengedit tulisan rekan-rekan. Ini ditujukan agar lebih mudah dipahami semua pembaca. Namun demikian, kami mohon maaf atas kekeliruan pengeditan kami terhadap tulisan “esa” yang seharusnya tetap diawali huruf kapital.
Tentang “kebenaran relatif” dan “kebenaran sejati/universal” sebagaimana Anda tangkap dari penjelasan kami, kami masih melihat ketidaktepatan Anda menyimpulkan. Bukankah lewat penjelasan kami sangat nyata bahwa “kebenaran relatif” maupun “kebenaran sejati/universal” sama-sama dapat kita kenali dengan logika sehat? Kita mengenali sesuatu sebagai “kebenaran relatif” ketika ia tidak berlaku bagi semua pihak karena bukan Allah penentu standardnya. Sedangkan “kebenaran sejati/universal” bersifat mutlak, berlaku bagi semua karena Allah Sang Penentu Standard adalah Allah bagi semua umat. Nah, bukankah logika sehat bisa membedakan keduanya? Itu sebabnya logika tidak bisa kita bungkam untuk menelaah kebenaran.
Saat logika kita sudah bisa membedakan manakah “kebenaran relatif” dan manakah “kebenaran sejati/universal”, kini kita bisa menilai, ada di ranah mana “ajaran poligami”? Ketika “kebenarannya” tidak bisa diterima dan diterapkan secara mutlak dan universal bagi semua pihak, apakah berasal dari Allah Yang Maha Benar? Kasus penolakan nabi Anda atas rencana poligami menantunya menjadi fakta yang tidak terbantahkan.
~
Yuli
Muslim mengatakan
~
Bagaimanapun juga poligami merupakan suatu keniscayaan. Maka dari itu, Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW menjelaskan aturan jika seseorang melakukan poligami. Bukan berarti Al-Quran dan Nabi kami mengharuskan seseorang untuk berpoligami.
Apakah Anda berfikir untuk meniadakan poligami? Beritahu saya, di zaman siapa sebelum zaman kita ini poligami benar-benar tidak ada?
Apakah menurut Anda poligami itu dosa? Kitab mana yang menerangkan bahwa poligami itu dosa? Jika Anda mengada-ada dengan menyalahkan nabi kami karena berpoligami, padahal tidak ada satu kitab pun yang melarang berpoligami, maka saya harus bertanya kepada Anda, apakah Anda sedang mengoreksi Allah SWT?
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Muslim,
Kami memuji kesadaran dan kesediaan Anda berlogika. Bukankah nyata bila logika sehat tidak boleh dibungkam untuk mengenali “kebenaran”?
Saat Anda yakin poligami adalah keniscayaan, siapa penetap keniscayaan tsb? Bila Allah penetapnya, mengapa nabi Anda tidak tunduk pada “keniscayaan Allah”? Bukankah semua yang Allah tetapkan niscaya membawa kebaikan? Lalu mengapa nabi Anda menolak putrinya dipoligami? Kiranya Anda mempertimbangkan ulang hal ini.
Anda bertanya:“Di zaman siapa … poligami benar-benar tidak ada?” Bukankah Taurat mencatat bila Adam, manusia pertama, hanya beristrikan satu orang wanita (Hawa)? Mengapa? Sebab sejak semula Allah telah memfirmankan ketetapan kesetiaan bermonogami bagi manusia (Taurat, Kitab Kejadian 2:24). Itu sebabnya Injil sebagai penggenapan seluruh isi Taurat dan kitab para nabi Allah, mencatat firman Isa yang menegaskan “… laki-laki … bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging … mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Injil Matius 19:5-6). Artinya, Isa menegaskan Allah menghendaki kesetiaan bermonogami karena keduanya (satu suami dan satu istri) telah menjadi satu. Menambahkannya dengan wanita/pria lain dalam ikatan tsb berarti melukai/mengoyakkan/menceraikan kesatuan yang ada. Maka silakan Anda pertimbangkan: Apakah perbuatan yang menentang ketetapan Allah tidak disebut dosa? Atau sebaliknya, benarkah monogami dan poligami sama-sama ditetapkan Allah? Faktanya, keduanya saling bertentangan. Mungkinkah Yang Maha Benar menetapkan ketidakbenaran semacam itu?
~
Yuli
Muslim mengatakan
~
Saya kagum Anda menjawab pertanyaan “Di zaman siapa … poligami benar-benar tidak ada?” dengan jawaban Nabi Adam AS dan Siti Hawa. Saya terkejut Anda menafsirkan “… laki-laki … bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging … mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”, merupakan suatu keharusan untuk menikah monogami. Yakinkah Anda benar? Saya sudah katakan, bukan berarti Al-Quran dan nabi kami mengharuskan seseorang untuk berpoligami.
Saya kira Anda sudah bisa menduga mengapa nabi kami melarang putrinya untuk dipoligami. Namun, Anda tetap bersikukuh menanyakannya, karena mungkin Anda pribadi yang usil.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Muslim,
Fakta di depan mata tidak lagi bisa dipungkiri. Bukankah Allah hanya menciptakan Hawa (bukan wanita lain) sebagai pendamping hidup Adam? Ataukah Anda menolak isi Taurat, Kitab Allah? Fakta kedua dalam Taurat yang sama, Allah berfirman: “… laki-laki … bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging …” (Kitab Kejadian 2:24). Mengapa“keduanya”, bukan ketiganya, keempatnya, dst? Bukankah ini ikatan monogami? Mengacu pada firman tsb, Isa, Allah Sang Firman, menjelaskan: “… mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Injil Matius 19:6). Artinya, tidak boleh ada hal lain yang merusak kesatuan monogami, bukan? Dengan demikian, apakah kemudian logika sehat Anda membenarkan bila kesatuan tsb bisa ditambahkan lagi dengan wanita/pria lain (poligami/poliandri)? Silakan juga diingat: “Benarkah monogami dan poligami sama-sama ditetapkan Allah? Faktanya, keduanya saling bertentangan. Mungkinkah Yang Maha Benar menetapkan ketidakbenaran?”
Maka, bukankah sangat logis bila dari ketetapan Allah tentang monogami ini menjadi dasar kita mempertanyakan ulang ajaran poligami? Sungguhkah Allah penetapnya? Jika ya:
1) Mengapa bertentangan dengan firman Allah dalam Taurat dan Injil?
2) Mengapa akhirnya nabi Anda pun menolak poligami bagi putrinya?
~
Yuli
muslim mengatakan
~
Adapun kisah Ali dan Fathimah radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak melarangnya untuk berpoligami. Keputusan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang poligami bagi Ali tersebut adalah karena beliau sebagai wali bagi Ali, bukan karena hal tersebut disyariatkan. Oleh karena itu Nabi bersabda, “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal, tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya”.
Dan dalam kisah ini juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan bahwa yang halal adalah apa yang Allah halalkan dan yang haram adalah apa yang Allah haramkan. Dan bahwasanya poligami itu halal. Namun beliau melarang Ali memilih putrinya Abu Jahal (sebagai istri keduanya). Sebagaimana diketahui, Abu Jahal Amr bin Hisyam adalah tokoh Quraisy yang sangat keras dan keji perlawanannya terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Muslim,
Terimakasih untuk tanggapan Anda. Bila Anda adalah orang yang sama dengan “Sdr. Muslim” pada kolom sebelumnya, kami mengharapkan jawaban Anda tetap berfokus pada pertanyaan kami di kolom tanggal 23 Juli 2018 pada 9:31 am, bukan beralih alur pembicaraan. Kami tunggu kesediaan Anda.
Namun bila Anda kebetulan hanya menggunakan nama alias (“Muslim”) yang sama, berikut tanggapan kami. Argumentasi yang Anda sampaikan saling berbenturan. Nabi Anda menyampaikan: “Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal …”, artinya “… yang halal adalah apa yang Allah halalkan dan yang haram adalah apa yang Allah haramkan. Dan bahwasanya poligami itu halal”. Anehnya, nabi Anda melanjutkan: “… tapi demi Allah, tidak akan bersatu putri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan putri dari musuh Allah dalam satu tempat, selama-lamanya”. Pada kalimat ini Anda menyimpulkan: “… beliau melarang Ali memilih putrinya Abu Jahal (sebagai istri keduanya)”. Bukankah “melarang” sama halnya dengan “mengharamkan”? Dan bukankah seharusnya yang berkuasa “mengharamkan” hanya Allah saja? Tapi mengapa nabi Anda berkuasa “mengharamkan” poligami Ali? Sedangkan menurut Anda poligami itu Allah halalkan. Lalu apakah kekuasaan nabi Anda setara dengan Allah dalam menghalalkan dan mengharamkan? Kiranya Anda memikirkan hal ini lebih dalam.
~
Yuli
muslim mengatakan
~
Shafiyah binti Huyay adalah salah satu istri Rasulullah yang berasal dari suku Bani Nadhir, yang mendapatkan gelar Ummul mu’minin. Ayah beliau adalah kepala suku Bani Nadhir, salah satu suku Yahudi Bani Israel yang bermukim disekitar Madinah.
Sahabat Rasulullah Anas r.a. berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepada beliau, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Shafiyyah menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah mengharapkanmu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa cinta dan percayanya kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Nabi Muhammad ketika diberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya (yahudi) dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Rasulullah Muhammad.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Muslim,
Dengan kisah yang Anda sampaikan tentang Shafiyah, putri kepala suku Yahudi yang dinikahi nabi Anda, tidakkah Anda merasa? Ketika Pemimpin Besar umat Muslim sendiri boleh menikahi putri kepala suku kaum Yahudi, kaum yang dianggap Muslim sebagai musuh besar Islam, lalu mengapa Ali, menantu Sang Pemimpin Besar malah dilarang mengikuti jejaknya saat ingin menikahi putri Abu Jahal, salah satu musuh Islam? Bukankah tidak konsisten? Seandainya benar ajaran poligami berasal dari Allah, mengapa tidak ada konsistensi? Padahal “kebenaran mutlak” dimana Allah penentunya selalu ditandai dengan konsistensi. Maka bukankah patut dipertanyakan, siapa penentu ajaran poligami?
Sdr. Muslim, dua kolom komentar Anda lainnya tidak dapat kami terbitkan karena apa yang Anda sampaikan keluar dari topik bahasan artikel. Untuk itu kami mohon kesediaan Anda untuk tetap berfokus menanggapi pertanyaan-petanyaan kami.
~
Yuli
Raditya mengatakan
~
Ada 10 orang wanita Kristen dan tiga orang pria Kristen. Dari tiga pria tsb telah memilih tiga dari 10 wanita Kristen untuk menjadi isterinya. Pertanyaannya, bagaimana nasib tujuh wanita Kristen lainnya?
1. Apakah mereka dibiarkan menjadi publik figur seks dan merayu tiga orang pria beristri? Lama kelamaan mereka menyebarkan penyakit dan si suami menyebarkan kepada istrinya.
2. Apakah ada solusi dari Injil bagi penganutnya yang belum bersuami? Sementara kita tahu wanita lebih banyak daripada laki-laki.
3. Apakah benar Injil tidak menghalalkan poligami?
4. Jika Anda termasuk salah satu dari wanita yang belum bersuami, bagaimana pikiran anda? Apakah Anda akan menjadi no. 1 atau Anda akan mempunyai anak yang tidak jelas siapa bapaknya?
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Raditya,
Situasi pengandaian yang Anda berikan tidak didasari fakta sehingga hanya Anda atur dari sudut pandang Anda semata. Mari perhatikan:
– Benarkah jumlah wanita lebih banyak daripada pria? Sudahkah Anda mencermati data statistik penduduk dunia saat ini? Justru Anda akan tercengang dibuatnya. Silakan Anda buktikan.
– Apakah Anda sudah menggali kebutuhan tujuh wanita tersisa sehingga Anda yakin mereka akan menjadi “penggoda” bagi pria beristri? Bagimana dengan berbagai kemungkinan lain? Misalnya prioritas pada hal lain di luar pernikahan seperti studi, karir, ekonomi keluarga, dll? Apakah Anda sudah memastikan bila tidak seorangpun dari tujuh wanita tsb pernah menolak pinangan tiga pria yang ada?
– Juga, bagaimana Anda bisa memastikan bila tiga pria beristri pasti selingkuh dengan wanita lain? Sudahkah Anda menggali, mengapa tiga pria tsb menjadi Kristen? Mengapa mereka mengikuti ajaran Isa Al-Masih yang menetapkan kesetiaan bermonogami atas dasar kasih (Taurat, Kitab Kejadian 2:24 dan Injil Matius 19:4-6)? Mengapa tidak memilih ajaran lain yang membebaskan mereka berpoligami?
~
Yuli
Lilik Susnasuhah mengatakan
~
Bila engkau yang menulis kisah ini punya otak dan perasaan, maka engkau tidak akan menyalahkan Nabi Muhammad saat mengambil keputusan melarang Fatimah dipoligami. Ingat apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad: “Tidak boleh berkumpul dalam satu rumah anak Rasulullah dan anak musuh Allah”.
Semoga Allah menakdirkan anak perempuanmu dipoligami dengan anak musuhmu sehingga engkau sadar bahwa engkau manusia busuk lidah dan tukang fitnah yang pantas mendapat pelajaran dengan kata-kata kotormu tentang Rasulullah Muhammad.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Lilik Susnasuhah,
Terimakasih telah berkenan menuliskan pendapat Anda. Menuduh pihak lain dengan standard yang kita buat sangatlah mudah. Masalahnya, sudahkah kita pastikan diri sendiri tidak melanggar standard tsb? Dibutuhkan kejujuran hati untuk mengoreksi diri. Silakan cermati isi artikel dan komentar kami, lalu bandingkan dengan pernyataan yang Anda tulis. Manakah yang mengutamakan kesantunan dan penghargaan?
Saudaraku, dengan pernyataan nabi Anda sebagaimana Anda tulis, tidakkah Anda mempertanyakan, mengapa nabi Anda tidak konsisten? Mengapa ia bebas menikahi putri kepala suku kaum Yahudi, kaum yang Muslim anggap musuh besar Islam, sedangkan menantunya tidak boleh meneladani jejaknya? Aneh, bukan?
Silakan Anda mempertimbangkan juga pernyataan nabi Anda: “. . . Fatimah adalah bagian dari tubuhku dan saya membenci apa yang dia benci dan apa yang melukai dia, melukai saya” (Bukhari)? Apa yang dapat Anda tangkap dari pernyataan ini? Tentu Anda setuju nabi Anda ayah yang baik, yang sangat menyayangi putrinya, bukan? Apakah ayah yang baik tidak pedih hati melihat hati putrinya pedih akibat diduakan sang suami? Mari pertimbangkan.
~
Yuli
Raditya mengatakan
~
Mungkin Anda bukan tinggal di bumi. Maksud saya di planet Anda pasti lebih banyak lelakinya.
Staff Isa Islam dan Kaum Wanita mengatakan
~
Sdr. Raditya,
Jawaban yang bijak dan berfokus pada kebenaran tidak akan meninggalkan fakta dan logika sehat. Nah, sudahkah Anda melibatkan keduanya?
~
Yuli