Semua orang ingin merasakan kenikmatan dan kebahagiaan kelak di surga. Islam mengajarkan tentang nikmat surga untuk wanita dan pria Muslim. Bagaimana kenikmatan surga sebenarnya yang Allah sediakan bagi manusia?
Dalam Islam, kita sering mendengar alasan yang disampaikan pria Muslim, tentang diijinkannya poligami. Mereka menyatakan jumlah wanita di dunia lebih banyak dibanding pria. Sehingga, Allah mengijinkan wanita-wanita dimadu, agar wanita ini “kebagian” suami.
Apa yang terjadi bagi wanita Muslim yang meninggal tanpa bersuami? Apakah ada nikmat surga untuk wanita Muslimah rasakan? Atau sebaliknya hanya kenikmatan pria Muslim saja? Dengan menyelidikinya, kita akan tahu mana surga yang benar yang Allah sediakan untuk kebaikan manusia.
Pria-Pria Muslim dan Bidadari-Bidadari di Surga
Agama Islam mengajarkan bahwa hal kawin-mengawini bukan hanya urusan di dunia. Tapi juga di surga. Sangat jelas janji Al-Quran akan imbalan bagi pria yang masuk surga. “Sesungguhnya Kami jadikan (isteri penghuni surga) dengan kejadian istimewa. Dan Kami jadikan dia itu selalu perawan. Penuh kasih sayang lagi sebaya” (Qs 56:35-37).
Bidadari-bidadari surga itu masih bersih. Masih perawan dan belum ada manusia maupun jin yang menyentuh mereka. Mereka juga cantik, “keadaan mereka laksana intan dan mutiara” (Qs 55:58).
Nikmat Surga Untuk Wanita Menurut Al-Quran
Al-Quran juga menuliskan imbalan bagi wanita Muslim yang masuk surga. Khususnya wanita Muslim yang meninggal tatkala masih lajang atau belum bersuami. Dikatakan “Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, “Dengan membawa gelas, ceret dan sloki (piala) berisi minuman, yang diambil dari mata air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk” (Qs 56:17-18).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa di surga juga ada wildaanun. Yaitu pria yang masih muda. Pria yang tetap muda ini adalah jodoh bagi wanita sholehah yang meninggal ketika masih lajang atau tidak bersuami.
Lebih Baik Melajang atau Dimadu?
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa wanita Muslim yang meninggal dalam kondisi masih lajang, jauh lebih beruntung daripada wanita yang dimadu, bukan?
Setidaknya wanita Muslim lajang tidak akan merasakan sakitnya dimadu. Saat mereka masuk surga, mereka akan mendapat suami yang tampan dan akan terus-menerus muda. Juga, suaminya di surga sudah pasti jauh lebih baik dibandingkan suami yang mempoligaminya.
Dengan demikian dapat disimpulkan, poligami bukan untuk kebaikan wanita. Melainkan untuk kepentingan kaum pria.
Injil Allah – Surga Tempat Orang-orang Kudus
Firman Allah mengatakan, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga” (Injil, Rasul Besar Matius 22:30) Hampir dapat dipastikan, tidak ada pernikahan di surga. Karena hal tersebut tidak dibutuhkan lagi.
Di surga “Tidak akan ada lagi air mata, tidak ada lagi kesakitan, dan tidak ada lagi penderitaan” (Injil, Kitab Wahyu 21:4). Juga sorga “bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Injil, Surat Roma 14:17).
Surga adalah tempat orang-orang kudus. Yaitu Mereka yang sudah dibenarkan dalam Isa Al-Masih! Pria dan Wanita mendapat kesempatan ke surga yang kekal, jika percaya kepada Isa Al-Masih sebagai satu-satunya penjamin selamat di akhirat!
[Staf Isa dan Islam – Untuk informasi lebih lanjut, silakan mendaftar untuk menerima secara cuma-cuma Buletin Mingguan “Isa dan Al-Fatihah.”]
Artikel Terkait:
Berikut ini link-link yang berhubungan dengan artikel “Nikmat Surga Untuk Wanita dan Surga Allah Yang Sebenarnya!” Jika Anda berminat, silakan klik pada link-link berikut:
- Apakah Bidadari-Bidadari Menjadi Kenikmatan Surga Bagi Pria Muslim?
- Bagaimana Pandangan Surga Dan Neraka Menurut Al-Quran?
- Kenikmatan Melihat Allah Di Surga Bagi Mukmin
- Pandangan Surga dan Neraka Menurut Islam dan Kristen
Focus Pertanyaan Untuk Dijawab Pembaca
Staf IDI berharap Pembaca hanya memberi komentar yang menanggapi salah satu pertanyaan berikut:
- Setujukah saudara bahwa sebenarnya poligami adalah untuk kepentingan pria dan bukan untuk kebaikan wanita? Sebutkan alasan saudara!
- Menurut saudara, mengapa Al-Quran mengajarkan bahwa di surga masih ada hal kawin-mengawini?
- Menurut saudara, mengapa Alkitab dan Al-Quran memberi gambaran berbeda soal surga? Dan gambaran manakah yang layak untuk dipercaya?
Komentar yang tidak berhubungan dengan tiga pertanyaan di atas, walaupun dari Kristen maupun Islam, maaf bila terpaksa kami hapus.
Untuk menolong para pembaca, kami memberi tanda ***** pada komentar-komentar yang kami rasa terbaik dan paling menolong mengerti artikel di atas. Bila bersedia, silakan juga mendaftar untuk buletin mingguan, “Isa, Islam dan Al-Fatihah.”
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel ini, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke: 0812-8100-0718.
Apabila Anda memiliki keinginan untuk didoakan, silakan mengisi permohonan doa dengan cara klik link ini.
~
Staff IDI,
“Al-Quran juga menuliskan imbalan bagi wanita Muslim yang masuk sorga. Khususnya wanita yang meninggal tatkala masih lajang atau belum bersuami … Pria yang tetap muda ini adalah jodoh bagi wanita sholehah yang meninggal ketika masih lajang atau tidak bersuami”
Anda sangat sok tahu!!!
Astaghfirullah …
~
Sdr. Zonk,
Silakan Anda klarifikasikan maksud tuduhan Anda dengan penjelasan dari sumber yang sahih dan dapat dipercaya keakuratannya.
Kami tunggu.
~
Yuli
*****
Menurut saudara, mengapa Al-Quran mengajarkan bahwa di sorga masih ada hal kawin-mengawini?
Menurut saya karena kawin adalah nikmat luar biasa yang bisa digunakan sebagai iming-iming agar lelaki setuju mengikuti nabi Islam. Upah nikmat kawin yang besar di surga bersama bidadari perawan pasti selalu menggiurkan. Surga nabi Islam penuh dengan aroma birahi.
*****
Sdr. Mentari,
Terimakasih untuk kesediaan Anda menjawab satu dari tiga pertanyaan fokus artikel.
Ketika sorga nabi Islam penuh dengan aroma birahi, bagaimana menurut Anda, benarkah versi sorga demikian yang Allah ciptakan?
~
Yuli
~
Untuk Sdr. Jagoan,
Maaf, komentar Anda kami hapus karena tidak berkaitan dengan topik artikel.
Bila Anda ingin berpartisipasi dalam diskusi, tiga pertanyaan fokus di atas dapat Anda bahas lebih lanjut. Kami tunggu partisipasi Anda.
~
Yuli
~
Maaf Sdr. Ikwanudin,
Kami tidak bisa menerbitkan komentar-komentar Anda karena tidak menyentuh pokok bahasan yang sedang dibahas oleh artikel. Bila Anda berkenan mendiskusikan hal lain di luar topik artikel ini, silakan hubungi kami via email: .
Terimakasih.
~
Yuli
~
Dalam Islam, poligami bukan hanya untuk kepentingan pria, tapi juga untuk kepentingan wanita. Berarti yang non-Muslim mungkin tidak ada yang poligami tapi seks bebas (berzinah) dilakukan. Oleh sebab itu, untuk menjaga dari perzinahan, maka diizinkan untuk berpoligami dengan batas empat istri dan mampu berlaku adil. Sekarang tinggal pilih suami berpoligami atau berzinah dengan banyak perempuan.
~
Sdr. Neon,
Poligami, selingkuh, ataupun melacur memiliki kesamaan prinsip yaitu pelanggaran kesetiaan hubungan antar dua insan. Lawan dari ketiganya adalah monogami. Sejak semula Allah menetapkan perkawinan monogami bagi kesejahteraan baik pria maupun wanita (Taurat, Kitab Kejadian 2:24). Di sanalah terkandung prinsip kesetiaan yang mendatangkan rasa aman dan bahagia. Hal apakah yang lebih menyejahterakan daripada dicintai sepenuhnya oleh pasangan tanpa terkhianati? Tentu sebagai manusia dengan akal dan nurani sehat, kita pasti menyetujui hal ini, bukan?
Berangkat dari pemikiran di atas kita dapat semakin jelas menilai bahwa poligami senyatanya hanyalah pelegalan atas perzinahan dan pemuasan keserakahan nafsu manusia.
~
Yuli
~
Mengapa di surga masih ada hal kawin mengawini (persepsi saya di sini adalah dinikahkan). Dari yang sudah saya pelajari, jawaban sederhana. Ya, karena dalam Islam sangat menghargai masalah hubungan laki-laki dan wanita. Oleh sebab itu, tetap ada perkawinan dalam surga. Jadi kehormatannya tetap terjaga tidak hanya di dunia, namun juga sampai di surga. Amin.
~
Sdr. Neon,
Jika Islam sungguh menghargai hubungan antara pria dan wanita seperti yang Anda ungkapkan, seharusnya unsur kesetiaan hubungan sangat diperhatikan, bukan? Anehnya, nilai kesetiaan yang di mata Allah sangat dihargai ini justru diabaikan, bahkan disepelekan dengan adanya ajaran poligami. Dengan demikian, klaim Anda malah terbantahkan.
Di sisi lain, nyata jelas bahwa konsep kawin-mawin di sorga pada ajaran Islam semakin menegaskan bila fokus ajarannya hanya pada pemuasan nafsu jasmaniah semata, khususnya bagi pria. Ini tersirat dari diperbolehkannya poligami di dunia yang nantinya juga berlanjut di sorga dengan banyak bidadari, sementara poliandri tidak dibahas, apalagi diperbolehkan.
~
Yuli
~
Oh iya, maaf ada yang terlupa untuk ditulis pada jawaban saya yang pertama. Perlu diingat, Islam tidak pernah memerintahkan untuk berpoligami, namun hanya mengizinkan untuk berpoligami, bukan menyuruh berpoligami. Terimakasih.
~
Sdr. Neon,
Dengan kata lain, Islam melegalkan poligami, bukan?
Ketika Allah menuntut kesetiaan monogami, mengapa Islam justru melegalkannya? Lalu, ajaran siapakah yang dibawanya, ajaran Allah, atau manusia?
~
Yuli
*
1. Atas dasar apa poligami hanya untuk kepentingan Pria? Apakah Anda paham megapa dan bagaimana Muhammad SAW berpoligami waktu itu? Lihatlah pada jamannya.
Poligami ditulis dalam Al-Quran ada dasar dan alasannya, “Jika mampu berlaku adil dan harus ada persetujuan dari istri sebelumnya”. Islam tidak serta merta menghalalkan bentuk poligami. Poligami bukanlah kewajiban melainkan dibolehkan dengan syarat. Bukankah Allah menciptakan mahluk-Nya untuk hidup berpasang-pasangan? Bagaimana dengan para biarawati dan pastor?
2. Menjawab pertanyaan nomor 2, secara logika manusia terlahir dari apa? Allah menciptakan mahluk-Nya sudah dibekali dengan nafsu. Silakan Anda cari penjabaran kata nafsu secara luas.
~
Sdr. Sinaga,
Terimakasih untuk kesediaan Anda menjawab pertanyaan fokus artikel. Berikut tanggapan kami:
1) Mari telaah lebih jauh. Jika seandainya poligami untuk kepentingan pria dan wanita, mengapa wanita justru tersakiti dengan praktik ini dan justru pria yang berbahagia di atas penderitaan istri pertama dan anak-anak mereka?
Menurut Anda, motivasi apa yang ada di balik poligami nabi Anda dengan para janda, bahkan gadis belia di bawah umur? Jika tujuannya untuk menolong dan melindungi mereka, apakah menikahi mereka menjadi satu-satunya jalan? Maka, tentu ada motivasi lain lagi, bukan?
2) Menurut Kitab Taurat, lembaga perkawinan Allah tetapkan diantaranya dengan tujuan untuk perkembangbiakan manusia di dunia agar mereka memenuhi bumi dan menjalankan amanat Allah untuk mengelola alam ciptaan (Taurat, Kitab Kejadian 1:28). Maka, tentu saja perkembangbiakan jasmaniah sudah tidak dibutuhkan lagi di sorga, bukan? Jadi, untuk apa lagi ada kawin-mawin, apalagi nafsu jasmaniah yang telah binasa bersama dengan tubuh jasmaniah ini?
~
Yuli
~
Lanjutan dari pertanyaan no.3:
3) Jangan terlalu jauh membedakan bentuk atau isi surga antara Injil dan Al-Quran. Hal yang kecil saja, bagaimana dengan jamuan Paskah umat Kristiani dengan roti dan anggur? Apakah dalam Alkitab Anda, hal yang memabukan diperbolehkan? Yesus memberikan murid-murid-Nya roti dan anggur saat makan Paskah. Lalu memerintahkan para pengikutnya: “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” sambil merujuk roti tersebut sebagai “tubuh-Ku” dan anggur tersebut sebagai “darah-Ku”.
Apabila kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk.
Apakah orang yang mabuk mampu berbuat kebaikan?
~
Sdr. Sinaga,
Jika Anda mengkorelasikan gambaran sorga Al-Quran dengan anggur dalam perjamuan Paskah, di mana letak korelasinya? Mohon agar Anda lebih fokus pada topik bahasan utama.
~
Yuli
~
Dear Staff,
Poligami itu untuk orang orang Mukmin, bukan untuk Muslim. Anda menyebut Islam berarti itu Muslim. Mukmin itu untuk sebutan laki-laki di bumi yang sudah menikah, sudah punya harta, tahta, dan wanita. Kalau belum punya harta, tahta, jangan harap ada wanita berlebih. Contoh Rhoma Irama punya istri di Solo. Istrinya akan merasa nyaman dengan kebesaran nama Rhoma apalagi sudah mempunyai anak darinya. Rhoma contoh orang Mukmin.
Mukmin itu tingkatan sesudah Muslim. Sesudah Muslim ada lagi Muksin. Contoh Muksin itu Agung Sedayu, Ciputra. Diam saja duit datang sendiri alias boss yang sudah pensiun itu Muksin.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Dari referensi manakah Anda mendapatkan ide seperti di atas? Kami rasa tidak semua umat Muslim memiliki pandangan yang sama dengan Anda.
Dari apa yang Anda kemukakan tentang konsep tingkatan Muslim, Mukmin, dan Muksin, muaranya hanya satu yakni pemuasan nafsu jasmaniah. Bukankah harta, tahta, wanita, selalu hubungannya dengan kebutuhan fisik kita? Lalu, kapankah masalah rohani disentuh? Ataukah rohani bukan hal yang penting? Padahal seseorang baru dapat dikatakan manusia bila ia bukan hanya terdiri dari tubuh saja, melainkan roh! Dan roh inilah yang bersifat abadi, sementara tubuh kita binasa bersama kematian fisik kita.
Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
~
Yuli
~
Dear Staff,
Inilah yang dinamakan iqra (bacalah). Membaca kehidupan ini, tiap-tiap orang berbeda tergantung dari situasi dan kondisi pembentukan. Tergantung hidayah/rohulquddus yang Tuhan berikan. Saya membaca dan mendengar dari apa yang kebanyakan orang perdebatkan, inginkan, maksudkan, baik Muslim, non-Muslim, maupun atheis. Saya simpulkan sebagai satu kebenaran pendapat saya tentang Alkitab, nabi, dan realita kehidupan dari berbagai sudut.
Mengenai jasmani dan rohani, perlu dipahami bahwa agama itu jasmaniah dan keimanan itu rohaniah. Agama isinya tentang gerak laku tubuh, aturan, dan larangan tubuh hidup.
Harta, tahta, dan wanita itu balasan puncak ibadah bagi orang-orang bertakwa. Rohnya pun otomatis tenang apabila diikuti keimanan. Di dalam jasad yang sehat terdapat roh yang tenang. Masalah roh, serahkan pada Allah saja.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Terimakasih untuk komentar Anda. Mohon maaf, kami telah meringkasnya dalam satu kolom agar topik diskusi tidak melebar.
Dari apa yang Anda sampaikan, nampaknya bagi Anda masing-masing kitab terdapat keterbatasan sehingga Anda meramunya sendiri menjadi sebuah kebenaran yang tertinggi, yang Anda anggap sebagai hidayah dari Allah.
Anehnya, jika konsep kebenaran tsb benar dari Allah, seharusnya orang banyak lainnya yang juga mendapatkan hidayah Allah juga memiliki konsep yang sama dengan Anda, bukan? Bukankah Sang Sumber Kebenaran hanya Satu, sehingga otomatis kebenaran yang dipahami pun juga seharusnya sama? Lain halnya jika standard kebenaran adalah berdasarkan isi kepala masing-masing orang, tentu hasilnya pun bervariasi.
Berfokus pada topik poligami, kitab Allah (Taurat dan Injil) jelas tidak menghendakinya. Poligami sebagaimana tercatat dalam kitab Allah tsb adalah produk dari manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Maka, jika kita tetap melestarikannya, dengan kata lain kita ingin tetap hidup dalam dosa.
~
Yuli
~
Dear staff,
Betul sekali apa yang Anda respon. Ternyata Anda memiliki ketajaman berpikir.
Nilai dari kapasitas hidayah itu dipengaruhi situasi, kondisi, dan kepentingan, serta nilai dari gangguan setan. Saya tidak punya kepentingan apapun dan bebas dari gangguan kepentingan diri. Fokus saya pada kebenaran dari apa yang sudah saya ketahui, cermati, bandingkan, yang kemudian saya simpulkan, yaitu kebenaran pendapat.
Mengenai Taurat dan Injil yang melarang poligami karena belum waktunya zaman Taurat dan Injil itu untuk berpoligami. Zaman anak-anak dan anak muda jelas dilarang poligami karena otaknya belum mampu menerapkan keadilan, menegakkan ketenteraman hati wanita. Hanya orang-orang di atas 40 tahun-lah yang mampu, dan itu juga hanya orang pilihan di level Mukmin dan Muksin. Di zaman Al-Quran, peradaban manusia sudah mampu menerima hasrat nafsunya berpoligami dan diperbolehkan Tuhannya, tidak lagi berdosa bagi orang yang bertaqwa, mukminin, dan muksinin.karena itulah puncak balasan ketakwaannya hidup di dunia.
Terima kasih telah memberikan ruang pendapat di situs ini. Mudah-mudahan Tuhan memberkati Anda dan saya.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Ruang diskusi ini terbuka bagi siapa pun. Namun mohon maaf, karena keterbatasan ruang serta demi efektifitas fokus bahasan, kami hanya memperkenankan setiap orang menuliskan pendapatnya dalam satu kolom. Untuk itu kami kembali ringkas pendapat Anda. Ke depan, kami harapkan agar pedoman tsb lebih diperhatikan.
Tentang hidayah dari Allah, yang kami persoalkan justru isi hidayahnya. Jika sungguh hidayah tsb dari Allah yang esa, pastilah kebenaran yang diterima sama, tidak mungkin bervariasi tiap kepala, bukan? Jika bervariasi, maka kebenaran tsb hanyalah kebenaran individual, bukan hidayah dari Allah. Maka, setiap orang hanya mementingkan kebenarannya sendiri, bukan menjadikan kebenaran Allah standard tertinggi.
Mengenai kebenaran Allah, tentu Anda setuju Allah yang Maha Benar itu konsisten, bukan? Jika hari ini Ia nyatakan benci terhadap ketidaksetiaan (karena jati diri Allah memang setia), tentu hingga akhir zaman sikap-Nya samai, bukan? Maka, sangat mustahil bila di zaman Taurat dan Injil, Allah membenci poligami (notabene melanggar kesetiaan), enam abad setelahnya (zaman Al-Quran), tiba-tiba Ia menghadiahkan poligami bagi yang bertakwa?
Jika poligami adalah puncak balasan ketakwaan para Mukmin dan Muksin, tentu hanya bagi pria saja, bukan? Lalu, bagaimana dengan para wanita yang mencapai kedua level tsb? Tidakkah mereka diperbolehkan poliandri? Bukankah Allah Maha Adil baik bagi pria dan wanita?
~
Yuli
~
Dear Staff,
Istri itu surganya ada di suami dan Al-Quran itu aturan bagi Mukmin bukan Mukminah. Yang mau dipoligami itu otomatis wanita Mukminah karena sudah mau dan rela.
Bagi wanita tidak ada gelar Muslim, Mukmin atau Muksin. Gelar itu didapat dari laki-laki yang meminangnya, apakah ia Muslim, Mukmin, atau Muksin. Otomatis wanita mendapatkan derajat suaminya. Maka justru karena keadilan Allah-lah suami boleh berpoligami.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Penjelasan Anda tentang kedudukan pria dan wanita justru semakin bertentangan dengan sifat Allah Yang Maha Adil dan Maha Benar. Dengan demikian, pendapat-pendapat yang Anda berikan sejauh ini hanyalah “kebenaran individual”, bukan kebenaran sebagaimana Allah sendiri firmankan dalam Kitab Allah (Alktiab) karena Allah selalu konsisten dengan diri dan firman-Nya.
Pilihan hidup ada pada masing-masing orang, apakah ia memegang dan hidup dari kebenarannya sendiri, ataukah hidup dan tunduk dalam kebenaran Allah Sang Khalik. Setiap pilihan membawa konsekuensi akhir yang berbeda. Karena Allah adalah Tuan dari segala yang ada, maka hanya yang mendengar dan menuruti kebenaran Allah sajalah yang sejahtera hingga di akhirat kelak. Artikel berikut perlu menjadi bahan perenungan: http://tinyurl.com/8829qar.
~
Yuli
~
Kamu menerangkan poligami di sini hanya dari segi lahirian saja, namun kamu belum mampu mendalaminya. Maklumlah, poligami ini tidak mudah diterima oleh wanita. Itu sebabnya disini kamu memanipulasinya, seolah-olah tidak ada perkara lain yang lebih berat untuk ditonjolkan.
Mudah-mudahan kita dijauhkan oleh Allah perkara yang sesat dan menyesatkan orang. Semoga kamu semua diberi petunjuk dan hidayah dari Allah yang Esa. Kebenaran tentang tauhid Allah yang esa, tunggal, dan tidak ada yang serupa dengan Allah.
~
Sdr. Auf,
Kebenaran adalah sebuah penjelasan yang jujur atas fakta yang terjadi. Penjelasan yang melampaui fakta justru jauh dari kebenaran karena ada manipulasi atas fakta yang ada.
Demikian juga dengan poligami. Ajaran poligami jelas tertulis dalam Al-Quran. Poligami bukanlah praktik rohaniah yang tidak kasat mata. Poligami adalah praktik lahiriah yang terlihat oleh mata, dimana satu orang suami beristrikan lebih dari satu wanita. Fakta berbicara demikian, bukan? Alasan serta dampak negatif poligami pun juga dapat diamati secara kasat mata oleh siapapun, lebih-lebih si korban, yaitu istri dan anak-anaknya.
Banyak orang berdoa agar dijauhkan dari perkara yang sesat dan menyesatkan, namun mereka tidak mau peka dengan firman Allah dalam Taurat dan Injil yang menyatakan bahwa Allah itu setia sehingga Ia menghendaki kesetiaan perkawinan monogami bagi setiap umat-Nya (Taurat, Kitab Kejadian 2:24 dan Injil Matius 19:4-6). Hanya kesetiaanlah yang membawa kedamaian dan kebahagian. Sebaliknya ketidaksetiaan membawa rasa tidak aman, iri dengki, pertengkaran, dan penderitaan. Manusia berakal sehat manapun pasti tidak akan menolak konsep kebenaran Allah ini.
Nah, bagaimana dengan kita, bersediakah kita peka dan tunduk pada firman Allah?
~
Yuli
~
Hai, mbak Yuli.
~
Hai juga, Sdr. Tedi!
Terimakasih untuk sapaannya.
Jika Anda berkenan bergabung dalam diskusi ini, kami persilakan sepanjang topik yang dibahas bersesuaian dengan topik artikel.
Silakan Saudara, kami tunggu.
~
Yuli
~
Dear Staff,
Masing-masing kitab terdapat kebenaran Ilahi. Akan tetapi benar menurut zaman, kapan, dan siapa yang menerimanya. Alkitab itu kebenaran yang ada ukuran dan aturan pakainya, kapan, dan di mana isi kitab itu di gunakan. Benar itu baju, tapi tidak bisa kebenaran baju itu di pakai ke semua ukuran zaman.
Mengenai keadilan, adil itu bukan berarti sama rata. Itu keadilan untuk anak-anak. Adil itu sesuai takaran dan sekali lagi pada zaman dan masanya. Kita harus bijak dalam menimbang keadilan sosial, bukan keadilan timbangan perniagaan yang tidak memakai hati dan pikiran.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Jika kita mengamini Allah Mahakuasa, berkuasa atas segala zaman, tentu kita tidak bisa memustahilkan bila Ia sanggup membuat satu hukum yang berlaku sepanjang zaman, bukan? Maka, jika kita bersikukuh hukum Allah bisa kadaluarsa dan diganti dengan yang lebih baru, tidakkah kita sedang melupakan kemahakuasaan-Nya?
Ada perbedaan besar antara buatan manusia dan buatan Allah. Karena keterbatasan akal budi dan umurnya, buatan manusia bisa kadaluarsa. Sebaliknya, Allah yang abadi sanggup membuat hukum yang abadi pula, berlaku di segala zaman dan tempat. Salah satu contohnya: “Jangan mencuri” (Taurat, Kitab Keluaran 20:15). Apakah di zaman Muhammad, hukum ini tidak berlaku? Bagaimana dengan sekarang, apakah korupsi tidak termasuk mencuri sehingga koruptor dijebloskan ke penjara?
Mari kita perhatikan sabda Allah atas keabadian nilai hukum-Nya yang tidak akan pernah kadaluarsa:“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Injil, Rasul Besar Matius 24:35).
~
Yuli
~
Dear Staff,
Justru karena keterbatasan manusia itulah Allah sengaja menurunkan Alkitab itu secara bertahap. Apakah anda lupa bahwa manusia dulunya purba?
Allah maha atas segala sesuatu. Akan tetapi kekuasaan-Nya diterapkan dengan sistem, tidak dengan serta merta.
Kalau anda berpendapat seperti itu, untuk apa ada proses kelahiran, untuk apa ada banyak Alkitab? Kalau begitu sekali saja Allah mencipta manusia langsung jadi tanpa ada batas umur. Bagaimana Anda ini?
~
Sdr. Ikhwanudin,
Konsistensi dan kontinuitas perkembangan adalah inti untuk mengenali pertahapan. Contohnya tahapan perkembangan manusia. Pada perkembangan yang sehat dan normal, bayi laki-laki akan tumbuh secara fisik dan mental sebagai anak laki-laki, kemudian remaja laki-laki, hingga menjadi laki-laki dewasa. Demikian juga bayi manusia mustahil tumbuh menjadi kambing dewasa, bukan?
Demikian juga dengan kitab Allah. Zaman terus berganti, mulai dari Nuh, Abraham, Musa, hingga Isa Al-Masih. Pada masa-masa tsb, firman Allah terus dicurahkan kepada manusia dan dituliskan dalam kitab-kitab. Meskipun ada nubuat-nubuat baru, masing-masing tidak pernah saling bertentangan, tapi justru makin mempertajam nubuat-nubuat sebelumnya hingga penggenapan seluruh nubuat terjadi dan dituliskan dalam kitab Allah terakhir pada kitab-kitab Perjanjian Baru, dimana Injil termuat.
Maka, menjadi sangat aneh bila tiba-tiba seorang Muhammad mengklaim membawa Al-Quran sebagai kitab Allah terakhir yang isinya tidak konsisten dan kontinyu dengan kitab-kitab Allah sebelumnya. Bahkan isinya justru menolak semua inti ajaran Allah dalam Taurat, Zabur, kitab para nabi, dan Injil.
Keseriusan kita untuk mempelajari dan membandingkan masing-masing kitab sangat dibutuhkan bila kita bersungguh hati hidup dalam kebenaran Allah, bukan kebenaran kita sendiri.
~
Yuli
~
Dear Staff,
Coba Anda perhatikan. Larangan “jangan mencuri” sudah ada di zaman purba dalam bentuk naluri tapi belum terbukukan. Kemudian barulah Alkitabullah mengaturnya dan memberi alasan mengapa dilarang.
Proses pengaturannyapun tetap mengikuti hukum proses dan bertahap. Anda ingat waktu TK, SD, SMP, dan SMA, kemudian kuliah. “Jangan mencuri” itu selalu terbawa sebagai pembatas ruang gerak rasa memiliki. Waktu anak-anak “jangan mencuri” itu wajib karena belum mampu memikul beban dosa. Semakin dewasa dan tua baru bisa memikul dosa sendiri-sendiri. Untuk yang tua mencuri itu boleh kalau diperlukan dan terpaksa.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Menurut Anda, mencontek jawaban ujian teman itu termasuk mencuri atau tidak? Bagaimana pula dengan menjadi “orang ketiga” dalam suatu hubungan asmara, termasuk mencuri atau tidak? Bagaimana dengan posisi istri kedua dalam poligami, apakah ia tidak mencuri kasih dari seorang suami kepada istri pertama dan anak-anaknya? Bagaimana pula dengan suami yang berpoligami? Tidakkah oleh nafsu serakahnya, ia mencuri kesempatan pria bujangan lainnya untuk menikahi si wanita tsb?
Jika Anda berprinsip orang tua boleh mencuri kalau terpaksa, maka kita tidak bisa mendiskusikan lebih lanjut konsistensi dan kontinyuitas kitab-kitab Allah karena prinsip Anda sudah berjalan di luar logika sehat. Sedangkan kebenaran sejati dari Allah tidak pernah keluar dari jalur tsb.
~
Yuli
~
Jangan anda tanyakan lagi mencuri itu boleh. Ingat, boleh bagi yang tua, yang sudah punya kebutuhan hidup sendiri dan tidak bergantung orang tuanya lagi. Jangan tanyakan sumber dari mana karena mencuri itu boleh.
Coba Anda pahami Al-Quran dengan hikmah. Saya yakin Anda belum bisa dan belum mampu karena usia anda dan kekakuan anda dalam meyakini Alkitabullah.
Korupsi itu salah satu untungnya seorang pegawai negeri. Sedangkan untungnya pegawai swasta itu dari selisih harga jual dari modal.
Kalau tidak paham hikmah, jangan sok ceramah. Orang Islam di indonesia itu pintar di atas kepintaran umat agama lain. Makanya harus jadi pemimpin. Jangan Anda remehkan para ustadz dan kiai Indonesia. Mereka penuh ilmu dan hikmah. Anda saja yang masih mente tapi sok parlente.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Ketika sebuah kitab mengajarkan “kebenaran abu-abu”, yaitu kebenaran yang tidak konsisten alias bisa ditawar apalagi bisa dilanggar sesuai kebutuhan para pemujanya, maka semakin nyata bila kitab tsb tidak didasarkan pada kebenaran sejati yang datang dari Allah karena Allah Maha Benar, tidak satu titikpun ketidakbenaran menodai diri-Nya.
Poligami adalah contoh konkrit dari “kebenaran abu-abu” tsb. Silakan renungkan kembali komentar kami di atas tentang keterkaitan mencuri dan poligami.
~
Yuli
~
Dear Staff,
Perhatikan pohon di saat berdaun. Apakah daunnya tidak dikira keluar dari jalur tunasnya? Keluar jalur demi keindahan, demi keberlangsungan proses kehidupan.
Masa tunas telah berlalu. Sekarang peradaban di saat pohon sedang berdaun rindang. Ada yang gugur dan ada yang subur. Bersiklus menanti hari yang ditentukan Tuhannya. Menunggu kering dan terkulai mati. Akhiruzzaman.
Zaman Taurat itu cukul. Zaman Injil itu tunas tak berdaun. Zaman Al-Quran itu berdaun dan rindang.
Selalu bismillahirrahmanirrahim dalam setiap langkah. Istigfar kala berdosa, alhamdulillah kala bersuka. Hukum bagi orang tua bisa ditakar karena sudah tahu betul kapan dosa itu dipakai dan kapan dosa itu direm. Sejatinya manusia hidup karena dosa. Yang penting ingat ampun di saat dosa, dan syukur di saat mendapat pahala. Terus silih berganti hingga ahir hayat. Berdoa supaya meninggal dalam keadaan siklus baik khusnulkhotimah.
~
Sdr. Ikhwanudin,
Jika Anda menganalogikan Taurat, Injil, dan Al-Quran sama seperti siklus kehidupan tumbuhan, tentu bila Anda masih berpijak pada kenyataan, maka Anda akan memustahilkan tunas pisang tumbuh menjadi pohon beringin yang rindang, bukan? Inti pernyataan kami adalah: tidak ada kesinambungan antara Taurat – Injil dengan Al-Quran karena Al-Quran justru menentang seluruh ajaran Taurat dan Injil. Ibaratnya, mustahil pohon beringin tumbuh dari tunas pohon pisang.
Tentang pernyataan Anda: “Selalu bismillahirrahmanirrahim dalam setiap langkah … kapan dosa itu dipakai dan kapan dosa itu direm”, apakah Anda lupa bahwa Allah itu Suci. Benar, dan Maha Adil sehingga Ia tidak bisa dikopromikan dengan dosa? Apakah dosa adalah hal remeh yang tidak mendatangkan konsekuensi fatal bagi kehidupan manusia? Jika jawaban Anda “ya”, maka Allah Anda bukan Allah sejati Pemilik semesta. Mari, renungkan lebih jauh siapa yang menjadi pusat hidup Anda: Allah sejati, atau diri Anda sendiri?
~
Yuli